Kamis, 27 Januari 2011

My Big Queen


 “Jadi yang kemaren itu elo juga gak suka lagi, El?” tanya Danisa teman sekantor Elice. Elice, Danisa dan Lucita adalah teman sekantor. Mereka sedang makan siang di sebuah restaurant tempat biasanya mereka sering makan siang.
“Nggak banget,” jawab Elice cuek. Dia sibuk melahap pesanannya yang porsinya tidak lazim untuk ukuran wanita. Bayangkan saja, untuk dirinya sendiri, Elice memesan steak plus French Potatos, sop buntut dan milk shake sebagai minumnya. Cara makannya pun aneh. Masak steak dia makan dengan nasi? Lalu dengan terburu-buru dia memasukkan French Potatos atau kentang goreng ke mulutnya yang sedang menggiling Steak dan nasi.
Uhuk… Uhuk… Elice tersedak karena mulutnya yang penuh.
“Pelan-pelan! Masih kita tunggu, kok,” kata Lucita sambil menyodorkan segelas air putih pada Elice. Lucita dan Danisa sudah selesai makan sejak 5 menit yang lalu. Tentu saja mereka selesai lebih dulu. Lucita yang seorang vegetarian hanya memesan salad dan orange juice. Sedangkan Danisa memesan Soto Betawi dan teh panas. Cuaca dingin karena hujan di luar sana enaknya makan yang hangat-hangat, pikir Danisa.
“Mau gue bantu?” Danisa menawarkan bantuan untuk menghabisakan makanan Elice.
“Enak aja. Gue masih bisa habisin makanan ini sendiri,” Elice menutupi piring makanannya dengan tangan kirinya. Danisa hanya tersenyum melihat tingkah Elice yang seperti anak kecil.
“Ingat El, berat loe itu udah lebih dari 85 kg! Gimana kalau ntar elo obesitas?” tanya Lucita yang sangat khawatir akan berat badan Elice.
“Gak bakal ada yang suka sama elo,” timpal Danisa. Tapi Elice cuek saja.
Sementara Elice sibuk menghabiskan makanannya, Danisa dan Lucita hanya diam saja. Mereka sibuk dengan pikiran mereka masing-masing sambil menikmati tetes-tetes air hujan di luar sana.
♔♔♔
“Ah, baru jam 13.50. Berarti masih sepuluh menit lagi jam kantor kita,” kata Elice. Tapi mereka sudah sampai di kantor dan mereka sedang duduk-duduk di meja masing-masing yang tidak berjauhan.
“El, elo tadi belum sempat cerita soal kencan loe yang sama… siapa nama cowok itu?” tanya Danisa yang sedang mengintip dari balik bilik meja kerjanya. Lucita yang tidak mau ketinggalan berita juga ikut mendekat.
“Taka,” jawab Lucita. Tentu saja Lucita tahu betul nama cowok yang kemaren pergi kencan dengan Elice, karena dia yang mengenalkan Taka pada Elice.
Elice mendesah keras.
“Parah,” jawab Elice singkat.
“Kenapa?” tanya dua sahabat Elice berbarengan.
“Kemaren kan kita pergi dinner,” kata Elice pelan.
“Ya. Lalu?” Danisa tambah penasaran.
“Eh, pas makan, enak aja dia bilang gini sama gue, ‘Ini kan sudah malam. Makan jangan banyak-banyak. Nggak takut gemuk?’” Elice meniru ucapan Taka malam itu denga sok manis.
“Emang kita makannya sudah malam kan?” tambah Elice meledak-ledak.
“Secara makan malam, buk,” sela Danisa.
“Lagi pula dia nggak lihat apa badan gue yang sudah ndut ini?” Elice makin menjadi. Lucita hanya senyam-senyum mendengar cerita Elice barusan. Sebenarnya Lucita sudah menduga ini akan terjadi.
“Elo kenapa, Ta? Nyengar-ngengir nggak jelas kayak gitu?” tanya Elice penasaran.
“Sebenarnya Taka itu udah nggak mau pas gue minta buat nge-date sama elo, El,” aku Lucita.
“Buju buset!! Jadi elo maksa Taka buat kencan sama Elice?” Danisa kaget. Sekarang giliran Lucita yang diintrogasi.
“Gue kan cuma pengen teman kita satu ini juga punya cowok. Secara hidupnya sudah mapan. Kerjaan sudah ada, jabatan pun elo juga punya, El. Apa lagi coba?”
“Wah, elo tega, Ta, sama gue,” ucap Elice tak terima.
“Ya maaf, El. Kan siapa tahu kalian jodoh. Tapi kalau enggak ya sudah.”
Danisa hanya tertawa mendengar pengakuan Lucita yang ternyata sudah memaksa Taka untuk dinner dengan Elice. Elice pun pasang tampang bete mendengar pengakuan Lucita.
♔♔♔
Di hari pertamanya masuk kerja hari ini, Nico sudah siap dari tadi. Sejak shubuh tadi dia sudah bangun untuk mempersiapkan diri. Walaupun satu tahun terakhir ini dia habiskan hidupnya di Amerika, tapi sebagai orang yang lahir dan besar di Jakarta, tetunya dia hafal betul betapa macetnya kota Jakarta. Maka dari itu walaupun jam kerja kantornya masih dua jam lagi tapi dia sudah mulai mengemudikan mobilnya menyusuri jalanan kota Jakarta.
Jalanan kota Jakarta sudah mulai penuh. Nico sangat rindu sekali dengan suasana yang seperti ini. Suasana yang sangat Indonesia sekali. Suasana yang tidak pernah Nico temui selama dia di Amerika. Di sana semuanya serba tertib, serba on time, serba bla bla bla… Jauh dengan Indonesia. Tapi semua itu yang sudah membuat Nico kangen dengan Indonesia, khususnya kota Jakarta.
Setelah satu setengah jam kemudian, Nico tiba di gedung kantor barunya. Belum ada banyak orang di kantor itu. Dia memutuskan menunggu jam kantornya di depan lobi.
Nico merasa waktu berjalan lama. Padahal dia hanya harus menunggu 30 menit hingga jam kantornya di mulai, tapi ini serasa sudah berjam-jam. Nico melihat baru saja ada tukang loper koran yang meletakkan koran di meja lobi. Dia berjalan ke meja lobi itu hendak mengambil koran, berharap sambil membaca koran dapat membunuh 30 menit yang harus dia tunggu. Mungkin Nico terlalu fokus dengan koran di meja lobi sehingga di tidak sadar kalau ada tiga cewek di depannya sedang lewat. Nico pun menabrak salah satu dari ketiga cewek itu.
♔♔♔
“Cowok tadi keren banget,” puji Danisa. “Beruntung banget sih loe Ta, bisa ditabrak cowok secakep itu.”
“It’s my day kali yah?” jawab Lucita diikuti dengan tawanya. Danisa hanya mencibir karena merasa iri.
“Tapi cowok itu benar-benar keren banget, yah?” tanya Lucita pada dua orang temannya. “Tinggi, putih, nice banget senyumnya…” Lucita menyebutkan ciri-ciri cowok tadi sambil membayangkannya.
“Ho oh,” Danisa menyetujui.
“Apa dia masuk kriteria elo, El?” tanya Danisa pada Elice. Tapi yang ditanya kelihatannya palah sedang melamun. “Hello… Elice!”
Elice gelagapan.
“Kenapa sih loe?” tanya Lucita.
“Nanti jam delapan gue ada meeting sama bagian produksi. Bingung nih, ada file yang keselip,” jawab Elice.
“Yah elo gimana sih? Sini kita bantu nyari,” kata Lucita.
♔♔♔
Elice kaget saat melihat cowok yang menabrak Lucita tadi masuk ke ruang meeting. Dengan seyumnya, yang jujur Elice akui memang bisa bikin hati siapa aja melting, dia menyapa Elice. Tapi Elice mencoba untuk teguh pada pendirian dan mencoba untuk tidak tergoda dengan senyuman cowok ini.
“Selamat pagi,” Pak Hendra, president direktur di perusahaan ini menyapa orang-orang yang berada di ruang meeting. “Kenalkan, ini Pak Nico, manager produksi kita yang baru. Beliau ini baru saja kembali dari Amerika beberapa hari yang lalu.”
“Dia ke Amerika,” gumam Elice pelan.
“Ya? Ada yang ingin Anda tanyakan saudara Elice?” tanya Pak Hendra.
Elice kaget karena lamunannya dibuyarkan oleh pertanyaan Pak Hendra.
Elice menggeleng yakin. “Tidak, Pak.”
♔♔♔
Elice sedang duduk sendirian di kantin kantor. Kali ini Elice terpaksa harus makan siang sendirian karena dua orang temannya, Danisa dan Lucita, sedang ada urusan di luar. Di mejanya tinggal tersisa beberapa piring kotor dan milk shake yang tinggal setengah gelas.
Sambil mengaduk-aduk milk shake-nya Elice menerawag jauh ke masa lalunya yang tidak begitu menyenangkan bagi Elice. Kenangan tentang mantan pacarnya yang lebih memilih cewek lain. Hal itu lah yang membuat Elice enggan untuk diet.
“Sendirian? Mana teman-temanmu itu?” tanya seseorang pada Elice. Itu tentu saja mengejutkan Elice yang sedang mellow dengan lamunannya.
Elice mengurungkan niatnya untuk menjawab pertanyaan orang itu saat tahu yang ada di depannya adalah Nico. Entah kenapa Elice benci sekali dengan orang yang satu ini. Mungkin karena nama Nico sama dengan nama mantan pacarnya dulu.
“Boleh gue duduk di sini?” tanya Nico lagi.
Elice celingak-celinguk melihat ke sekeliling, siapa tahu masih ada bangku yang kosong dan dia akan menyarankan Nico untuk duduk di bangku yang kosong itu. Tapi sayangnya tidak ada bangku yang kosong. Terpaksa Elice mempersilahkan Nico duduk di depannya. Mereka duduk behadap-hadapan. Saat ini Elice berharap dua orang temannya tidak tahu kalau dia sedang duduk di kantin berdua dengan Nico. Dijamin kedua temannya itu akan berteriak hiteris jika mengetahuinya.
Elice masih diam saja, berusaha untuk jual mahal.
“Gimana kabar loe?” tanya Nico lagi.
“Anggap saja kita tidak pernah kenal.”
“Terserah saja,” kata Nico mengalah.
“Gue baik-baik saja,” jawab Elice ketus. Elice berusaha menyembunyikan rasa kekagumannya pada orang di depannya ini.
Bagaimanapun orang ini Nico. Entah Nico-ku atau bukan, tapi dia adalah Nico, kata Elice dalam hati.
“Kenalin, gue Nico. Seperti yang sudah Pak Hendra bilang tadi, gue manager produksi yang baru,” Nico mengulurkan tangannya. Walaupun awalnya Elice ragu, tapi akhirnya Elice menjabat uluran tangan itu.
“Elice.”
“Nice name as the owner.”
♔♔♔
Sudah dua minggu Elice harus sekantor dan setiap hari harus bertemu dengan Nico. Kedua teman Elice, Danisa dan Lucita, terus saja berusaha mendekati Nico. Dan terkadang mereka kedapatan sedang menyomblangkan Elice dengan Nico.
“Elice, menurut loe Nico gimana?” tanya Lucita.
“Gimana apanya? Biasa aja,” jawab Elice tanpa dipikir dulu.
“Orang kayak Nico masih elo tolak juga?” tanya Danisa dengan volume tinggi. Orang-orang yang ada di restaurant tempat biasa mereka makan siang pun menoleh ke arah mereka bertiga.
“Pelanan dikit kenapa!” kata Elice.
“Kalau kita-kita belum ada yang punya nih, Nico pasti nggak akan gue bagi sama loe loe pada,” kata Danisa.
“Hei, kalian nggak lihat body gue? Gue sama Nico bagai angka sepuluh kalau jalan bareng. Dia pasti juga nggak mau sama cewek gendut kayak gue. Ntar gue disuruh diet lagi. Ogah!” jawab Elice.
“Kenapa sih elo nggak mau diet? Biasanya cewek-cewek normal di luar sana melakukan diet sekalipun badan mereka udah kurus,” komentar Lucita.
“Heh, jadi elo mau bilang kalau gue ini gak normal gitu?” tanya Elice sambil menjitak kepala Lucita.
“Aduh, rambut gue. Tangan loe kan kotor, baru aja megang ayam goreng. Enak aja loe jitak kepala gue pake tangan loe yang kotor itu. Kemaren gue baru aja creambath, tau?” kata Lucita kesal.
Elice hanya tertawa melihat temannya yang sewot. Padahal di dalam hatinya dia menyimpan sesuatu yang masih ragu untuk dia bagikan kepada kedua temannya ini.
♔♔♔
Pagi harinya tersiar gosip baru di kantor tempat Elice bekerja. Dengar-dengar Pak Hendra punya sekertaris baru yang cantiknya bagai bidadari yang turun dari khayangan.
“Eh, eh, eh, gue udah lihat orangnya,” kata Danisa ngos-ngosan karena baru saja lari-lari untuk menuju ke meja kerjanya. Orang-orang di ruangan itu pun berkumpul untuk mendengar cerita Danisa lebih lanjut. Danisa mencoba mengatur nafasnya sebelum dia melanjutkan ceritanya. “Cantik. Emang cantik. Tinggi, putih, pokoknya cantik deh. Tadi gue lihat dia masuk ke ruangannya Pak Hendra.”
“Wah, kira-kira dia sudah punya cowok belum yah?” celetuk salah satu karyawan pria yang ikutan nimbrung. Yang lain hanya tertawa.
♔♔♔
“Hai, sayang!” sapa Artha saat masuk ke ruang kerja Nico. Artha mendekati Nico dan cipika-cipiki. Tapi tidak seperti biasanya, Nico merasa risih saat Artha, cewek yang sudah dipacarinya sejak SMA cipika-cipiki.
“Sudah ketemu dengannya? Aku tahu, dia juga bekerja di sini kan? Bagaimana dia sekarang? Apa tambah lebih cantik dari aku?”
Nico hanya mendengus kesal saat Artha membrondonginya dengan pertanyaan-pertanyaan yang menerutnya nggak penting. Nico hendak pergi dari tempat dudukya, tapi Artha menahan bahunya dan mendudukkan Nico kembali. Artha duduk di atas pangkuan Nico dan membelai mesra rambut Nico.
“Artha, ini tempat umum. Ini kantor,” kata Nico dengan nada marah. Artha pun terlonjak kaget karena Nico yang tiba-tiba marah.
“What’s wrong, honey? I really miss you. We’ve been more than two weeks part,” Artha hendak mendekat lagi, tapi Nico mundur satu langkah. Artha curiga dengan sikap Nico yang berubah drastis.
“Oh, aku mengerti,” kata Artha tapi kali ini dengan nada marah. “Kamu pasti sudah bertemu dengan cewek itu kan? Dia mau merebut kamu dari aku?”
“Diam!” suara Nico tidak kalah keras. “Ingat yah, dulu kamu yang sudah merebut aku dari dia.”
“Oke. Fine. Dimana dia sekarang?” tanya Artha yang lansung pergi meninggalkan Nico.
♔♔♔
Semua orang yang ada di ruangan itu, baik karyawan maupun karyawati, mereka sedang mengamati cewek yang sedang celingak-celinguk di depan pintu ruangan itu. Dia benar-benar cantik seperti yang dikatakan Danisa tadi pagi. Dia mengenakan blus terusan selutut berwarna ungu dan jas luar lengan panjang berwarna hitam yang dia tarik hingga siku. Rambutnya hanya dia kucir rapi ke belakang, tapi ini bukan sembarang kucir, mungkin tadi dia ke salon dahulu sebelum berangkat kerja. Tasnya juga keren. Tasnya adalah tas dengan merk ‘Gucci’ keluaran terbaru. Cewek cantik itu mungkin sekertaris barunya Pak Hendra.
Tapi di ruangan itu ada satu orang yang tidak ikut mengamati cewek yang berdiri di depan pintu, dia adalah Elice. Elice palah berusaha bersembunyi di balik bilik meja kerjanya.
“Elice, lihat cewek itu! Cantik kan?” tanya Danisa sambil menyenggol-nyenggol siku Elice dari meja kerjanya yang berada di samping meja kerja Elice. Elice tetap tertunduk diam, tak menghiraukan pertanyaan Danisa.
Tiba-tiba cewek itu sudah berdiri di samping Elice.
“Elice Nawangwulan Robinson,” cewek itu memanggil Elice lengkap dengan nama panjangnya. Dengan takut-takut Elice menatap wajah orang yang memanggilnya dan mencoba memberikan sebuah senyuman.
“Artha,” sapa Elice. Orang-orang yang menyaksikan kejadian itu kaget melihat mereka sudah saling mengenal.
 Artha mengambil sesuatu dari dalam tasnya dan menghempaskan benda itu ke meja kerja Elice. Artha yang tadinya berwajah ramah tiba-tiba berubah jadi garang.
“Ini gue kembaliin barang loe,” kata Artha sinis. Elice mengambil barang yang tadi dilemparkan Artha ke mejanya. Ternyata sebuah foto.
“Kenapa?” tanya Artha saat melihat ekspresi kaget dari wajah Elice. “Gue dapetin ini dari Nico,” Artha tersenyum sinis. “Gue tahu elo sakit hati karena Nico ninggalin elo dan lebih milih gue. Tapi gue mohon jangan pernah ganggu Nico!”
“Artha!” Nico masuk ke ruangan itu. Kayawan lain semakin bingung dengan adengan ini. Terlebih dua sahabat Elice yang terbengong melihat kejadian ini karena Elice sama sekali belum pernah cerita apapun yang bersangkutan dengan hal ini.
Nico berjalan mendekati Artha dan menariknya dengan kasar. Artha memberontak minta dilepaskan tapi apa daya, genggaman Nico di lengan kanannya lebih kuat. Setelah kira-kira mereka berada jauh dari ruangan Elice, Nico melepaskan genggamannya.
“Nico, apa-apaan sih? Sakit tahu,” kata Artha sambil memegangi lengannya yang memerah.
“Lebih sakit mana dibandingkan dengan apa yang Elice rasakan?” Nico mulai emosi.
“Oh, jadi kamu sekarang ini sedang belain Elice?”
Nico merasa apa yang baru saja di ucapkannya barusan itu salah. “Artha, aku nggak bisa terus-terusan kayak gini.”
“Kayak gini gimana?” tanya Artha.
“Ini sudah nggak bisa lagi diteruskan. Aku sudah nggak tahan dengan sikap kamu.”
“Nico, kita baru saja dua minggu nggak ketemu dan setelah ketemu kamu minta putus?” tanya Artha tak habis pikir.
“Ya,” jawab Nico singkat.
“Memangnya apa sih yang sudah dia lakukan sampai-sampai kamu minta putus?” Nico baru saja hendak menjawab pertanyaan Artha, tapi Artha menyela. “Nico, enam tahun bukan waktu yang singkat untuk menjalin sebuah hubungan. Tapi sekarang kamu minta putus? Aku benar-benar nggak habis pikir.”
Artha meneteskan air mata. Bagaimanapun Artha juga seorang wanita yang bisa menangis saat detik-detik akan diputuskan oleh pacarnya. Artha memeluk Nico, tapi kali ini Nico diam saja membiarkan Artha memeluk dirinya.
♔♔♔
“Elo nggak papa kan, El?” tanya Lucita. Elice berusaha tetap tegar walaupun matanya sedari tadi sudah berkaca-kaca.

“Loe kenal sama cewek itu tadi?” Danisa ikut mendekat.
Elice masih diam saja. Dia bingung, apakah dia harus menceritakan kisah masa lalunya pada sahabat-sahabatnya. Sebenarnya dia sudah bisa melupakan masa lalunya itu. Namun, sejak kedatangan Nico kembali ke dalam kehidupannya, kenangan buruk masa lalunya itu pun bangkit kembali.
“Ini foto siapa?” tanya Danisa saat melihat foto yang ada di tangan Elice. Danisa mengambilnya dari Elice dan mengamati foto itu.
“Cantik banget. Cowoknya juga cakep,” komentar Lucita yang juga ikut mengamati cowok-cewek yang ada di dalam foto itu.
“Eh, cowok ini Nico, kan? Apa cewek ini Artha?” tanya Danisa.
Elice tetap diam seribu bahasa. Dia sama sekali tak menggubris pertanyaan-pertaanyaan dan komentar yang diajukan Danisa dan Lucita. Elice sama sekali tak mendengarkan teman-temannya barusan. Sekarang ini Elice merasa hati yang dengan susah payah dan sudah sejak lama dia tata, kini hancur untuk yang kedua kalinya. Elice tak sanggup lagi menahan air matanya yang sudah menggenang di pelupuk matanya. Dia pun pergi dari ruangan itu karena dia tidak mau ada yang melihatnya menangis. Sampai-sampai Elice tak mendengarkan panggilan dari kedua temannya.
♔♔♔
Setelah dari kamar mandi Elice pergi ke ruangan Pak Hendra dan setelah itu pergi tanpa bilang-bilang terlebih dahulu pada kedua temannya. Pagi harinya pun Elice juga tidak terlihat di kantor. Dan sekarang, walaupun kejadian itu sudah seminggu berlalu, Elice masih belum kembali ke kantor untuk bekerja lagi. Kemarin saat Danisa dan Lucita sengaja mampir ke apartemen Elice, tapi tak ada yang membukakan pintu. Sebenarnya kemana perginya Elice.
“Sebenarnya kemana perginya Elice?” tanya Lucita pada Danisa. Sudah seminggu ini makan siang mereka serasa ada yang kurang. Sepi karena tak ada Elice yang pesanan makannya sampai memenuhi meja.
“Gue sms, BB message, mention di Twitter sampai wall di Facebook juga nggak di balas,” cerita Danisa.
“Hei!”
Danisa dan Lucita menengok serentak mendengar seseorang menyapa mereka. Ternyata itu adalah Nico.
“Boleh gue gabung?” tanya Nico. Danisa hanya menjawab dengan isyarat tangannya.
Danisa yang kemarin-kemarin gencar menggoda Nico, kali ini diam saja. Rasanya canggung sekali ingin bicara pada Nico setelah melihat kejadian seminggu yang lalu. Begitu juga Lucita. Dia yang suka curi-curi pandang mengagumi betapa tampan dan menawannya Nico, sekarang sama sekali tak berani menatap Nico. Lucita pura-pura sibuk dengan makanannya. Nico pun tak berani mengawali pembicaraan diantara mereka.
“Gue sudah selesai,” kata Nico hendak berdiri.
“Nico,” panggil Danisa. “Ada yang ingin gue tanyakan sama loe.”
Nico pun duduk lagi. “Ya?”
“Apa elo sudah kenal Elice sebelumnya?” tanya Danisa langsung pada apa yang ingin dia ketahui. Nico diam sejenak, tak langsung menjawab pertanyaan Danisa.
“Apa hubungan kalian sebelumnya?” tanya Danisa lagi karena Nico masih saja diam.
“Gue dan Elice…” Nico ragu untuk bercerita. “Kami satu sekolah saat SMA.”
“Lalu hubungan kalian?” Danisa masih belum puas dengan jawaban Nico.
“Sampaikan saja maaf gue buat Elice karena setelah itu gue menyesal sekali.”
Nico langsung pergi meninggalkan Danisa dan Lucita yang semakin tambah bingung dengan jawaban dari Nico.
♔♔♔
“Nico!” panggil Artha saat melihat Nico berjalan sendirian di depan lobi. Dengan semangat, Artha berlari kecil mendekati Nico dan hendak mencium pipi Nico sesampainya di depan Nico. Namun Nico mengelak. “Loe kenapa, sih?”
“Nggak pa-pa,” jawab Nico singkat.
“Nggak mungkin nggak ada apa-apa. Ini pasti gara-gara Elice sialan itu, kan?” tanya Artha kasar.
“Udah gue bilang nggak ada apa-apa. Ini nggak ada hubungannya sama Elice. Lagi pula untuk apa loe urusin hidup gue?” nada Nico meninggi. Sadar bahwa Nico sudah mulai marah, Artha pun melunak.
“Sayang, aku masih sayang sama kamu,” Artha memeluk Nico tanpa perduli orang-orang sekitar, termasuk Danisa dan Lucita yang baru saja kembali dari  makan siang, yang memperhatikan mereka berdua.
“Lepas!” Nico menghempaskan tangan Artha kasar. Artha sangat kaget sekali dengan Nico yang memperlakukannya seperti itu. “Ingat, Tha, kita ini sudah putus! Setahun setelah gue melakukan kesalahan besar, yaitu memilih elo, kita ini langsung putus. Gue sudah bodoh lebih memilih elo dibanding Elice. Semua yang ada pada diri elo itu palsu,” Nico sudah tak tahan lagi. Dia pun pergi meninggalkan Artha yang masih shock dengan apa yang sudah dilakukan dan dikatakan Nico barusan.
“Nico!” panggil Artha mencoba menghentikan langkah Nico, namun yang dipanggil sama sekali tidak menoleh.
♔♔♔
Setelah sepuluh hari pergi meninggalkan Jakarta untuk sebuah pekerjaan, akhirnya Elice kembali lagi. Setelah dari kamar mandi itu, Elice beniat minta ijin pada Pak Hendra untuk menenangkan diri, tapi Pak Hendra palah memberinya tugas untuk promo produk baru mereka ke beberapa kota. Karena ini adalah tugas Elice sebagai kepala pemasaran.
Selama sepuluh hari penuh disibukkan dengan tugasnya, membuat Elice dapat sedikit melupakan permasalahannya. Tapi kini dia sudah berada di Jakarta lagi. Elice tak tahu apa yang harus dia lakukan bila bertemu dengan Nico dan Artha di kantor nanti.
Baru saja Elice hendak merebahkan tubuhnya yang lelah di atas tempat tidur, terdengar pintu apartemennya diketuk. Dengan berat Elice melangkahkan kakinya membukakan pintu untuk tamunya.
“Elice!” teriak Danisa dan Lucita saat pintu terbuka. Mereka memeluk erat Elice, bermaksud ingin memberitahukan dengan isyarat bahwa mereka sangat merindukan Elice yang sudah menghilang selama sepuluh hari terkahir ini.
“Hei, lepasin!” Elice merasa dadanya sesak karena dua orang temannya ini memeluknya seperti orang kesurupan. “Kalian mau bunuh gue?”
“Kemana aja sih loe, El?” tanya Lucita setelah melepaskan pelukan ‘menggilanya.’
“Iya, kemana aja loe?” Danisa mengulangi pertanyaan yang sudah ditanyakan Lucita. “Kita kangen tahu.”
Elice mengajak teman-temannya ini duduk terlebih dahulu sebelum menjawab pernyaan mereka.
“Jalan-jalan,” jawab Elice santai.
“Jalan-jalan?” Danisa kaget setengah mati mendengar jawaban Elice. “Kita di sini bingung nyariin elo, elo palah jalan-jalan?”
“Tega loe, El. Nggak ajak kita-kita,” Lucita menimpali. Elice semakin tak bisa menahan tawanya melihat dua temannya yang sewot. “Kok elo ketawa sih?”
“Kalian percaya gitu aja gue bilang kalau gue jalan-jalan.”
“Terus?” tanya Danisa dan Lucita berbarengan.
“Gue emang pergi ke Yogya, Semarang, Surabaya, Makasar dan  Medan,”
“Itu namanya piknik!” Danisa memotong cerita Elice.
“Bukan piknik. Tapi promosi produk baru.”
“Ooo…” Danisa dan Lucita manggut-manggut.
“Hah, capek banget. Gue baru saja sampe jam lima sore tadi,” Elice merebahkan dirinya di sofa merah empuk yang didudukinya. Danisa dan Lucita juga ikut-ikutan merebahkan diri di sofa.
“Kalian baru saja pulang dari kantor?” tanya Elice. Lucita hanya menjawab dengan anggukan. “Ini kan sudah jam delapan malam. Kok baru pulang? Lembur?”
“Iya,” Danisa menjawab tak bersemangat.
“Aku bikinkan teh, yah?” tawar Elice sambil berdiri dari tempat duduknya dan menuju dapur kecil yang ada di apartemennya.
“El…” panggil Danisa. Wajahnya tiba-tiba berubah serius.
“Heh?” Elice menoleh tapi tangannya terus sibuk membikinkan teh hangat untuk kedua temannya dan dirinya.
“Nico…” Lucita ragu untuk mengatakannya.
“Ada apa dengan Nico?” Elice bersikap seolah-olah sudah melupakannya atau seolah-olah kejadian itu tak pernah terjadi. Elice meletakkan tiga cangkir teh di atas meja yang berada di depan sofa.
“Dia minta maaf,” Danisa meneruskan apa yang ingin diucapkan Lucita. “Memangnya apa yang pernah terjadi di antara kalian?”
Elice merasa inilah saatnya dia harus jujur pada kedua temannya. Elice masuk ke dalam kamarnya untuk mengambil sesuatu. Dan tidak lama kemudian Elice sudah kembali  ke ruang tamu.
“Ini,” Elice menunjukkan sebuah foto.
“Ini kan foto yang kemaren itu?” tanya Lucita.
“Ini Nico dan Artha, kan? Lalu hubungannya sama elo?” Danisa ingin tahu.
Elice menggeleng. “Bukan. Itu gue.”
“El.. El.. Elice.. Ini elo?” tanya Danisa sama sekali tak peraya. Lucita juga ikut-ikutan bengong tak mempercayai apa yang baru saja dikatakan Elice barusan.
Jelas saja mereka sulit percaya. Cewek di foto itu bener-bener cantik. Dengan seragam SMA, Nico dan cewek di dalam foto itu sedang berpose di depan sebuah taman yang sepertinya ada di depan sebuah kelas. Body cewek itu juga slim banget, berbeda 180 derajat dengan Elice yang berat badannya lebih dari 85 kg. Berat badan Elice sekarang ini mungkin 86 kg atau palah hampir 89 kg.
“Itu foto gue saat masih SMA. Dulu kita memang pacaran. Tapi Nico memutuskan gue untuk lebih memilih Artha yang lebih cantik dari gue,” cerita Elice serius.
“Tapi menurut gue cantikan cewek yang di foto ini, eh, maksud gue elo. Tapi saat elo masih kurusan kayak gini,” cerocos Danisa.
“Argh! Sakit!” erang Danisa karena Lucita menginjak kakinya. Elice tersenyum mendengar ucapan jujur dari Danisa barusan.
“Lalu elo stress dan nggak bisa ngontrol nafsu makan loe?” tebak Lucita yang memang pakarnya diet.
“Bukannya nggak bisa, tapi gue sengaja ngemukin badan gue?” jawab Elice apa adanya.
“Hah, sarap loe. Gue aja yang beratnya cuma 55 kg aja pengen diet. Eh, elo palah pengen ngemukin badan,” celetuk Danisa. “Argh!” lagi-lagi Lucita menginjak kakinya.
“Alasan loe apa, sih?” tanya Lucita mencoba mengorek keterangan dari Elice lebih dalam.
“Entah lah. Tapi gue jadi benci sama yang namanya ‘cantik’. Buat apa seseorang itu suka hanya karena alasan cewek itu cantik ataupun cowok itu cakep. Semua itu palsu. Gue ingin seperti ini hingga suatu hari nanti benar-benar ada yang sayang sama gue dengan tulus.”
“Gue ngerti, El,” kata Danisa. “Tapi nggak harus dengan cara yang kayak gini juga kali.”
“Lalu, apa Nico masih mengenali elo saat kalian ketemu setelah keadaan loe kayak gini?” tanya Lucita lagi.
“Sepertinya sih begitu. Padahal setelah lulus SMA gue melanjutkan kuliah di Australia. Gue sama sekali nggak mau ketemu lagi dengan Nico saat itu. Makanya gue kuliah di luar negeri. Enam tahun kita nggak saling ketemu ataupun komunikasi. Tapi dia masih bisa mengenali gue dengan keadaan gue yang seperti ini,” cerita Elice panjang lebar.
“Jangan-jangan dia masih suka sama elo?” tebak Danisa ngawur.
Elice diam sejenak, kemudian dia masuk lagi ke kamarnya untuk mengambil sesuatu. Saat Elice keluar dari kamarnya, dia menunjukkan sebuah kalung yang memiliki sebuah bandul yang berbentuk mahkota.
“Kalung? Punya siapa?” Danisa menerima kalung yang ditunjukkan Elice.
“Itu pemberian Nico enam tahun yang lalu,” kata Elice sambil mengingat-ingat kejadian saat itu.
“Bagus,” gumam Danisa mengagumi kalung milik Elice. “Tapi kenapa masih loe simpan kalung ini kalau elo nggak mau mengingat-ingat Nico?”
“Eh?” Elice kaget dengan pertanyaan Danisa. Dia sendiri tidak tahu kenapa dia masih menyimpan kalung itu.
“Loe nggak masih suka sama Nico, kan?” tanya Lucita.
“Nggak!” jawab Elice mantap. “Nggak akan. Hati ini sudah tak bisa lagi menerima Nico. Bertemu pun sebenarnya enggan.”
♔♔♔
Pagi harinya seperti biasa Elice berangkat kerja setelah sepuluh hari ditugaskan ke luar kota. Kantor sudah lumayan ramai saat Elice sampai di depan lobi kantornya. Namun, perasaan takut justru sedang menghinggapi hatinya sekarang ini. Elice takut kalau di antara orang-orang yang sudah berangkat ini ada seseorang yang bernama Nico. Elice sama sekali tak ingin melihat Nico di kantor apalagi kalau dia melihat Nico sedang bersama Artha, itu hanya akan membuka luka lama.
Elice hendak memencet angka 7 pada lift, karena ruang kerja Elice berada di lantai 7, saat pintu lift kembali terbuka lagi. Ternyata ada seseorang lagi yang juga ingin naik lift itu. Dia seorang perempuan cantik dengan kemeja kerja warna hitam dan rok di atas lutut yang berwarna hitam pula. Dia membawa map di tangannya yang bertuliskan surat pengunduran diri. Jadilah Elice berdua dengan perempuan itu. Perempuan yang bernama Artha. Ketakutan Elice pun terjadilah.
“Puas loe?” sapa Artha. Elice sengaja memilih diam untuk menghindari pertengkaran. “Loe udah bikin hubungan gue dan Nico berantakan. Tapi gue nggak akan menyerah. Loe masih ingat, kan? Dulu dia lebih memilih gue dan meninggalkan elo gitu aja.”
Perasaan Elice semakin berkecamuk mendengarkan ucapan Artha yang membangkitkan kenangan buruk masa  lalu. Namun, Artha masih saja meneruskan ucapannya.
“Gue nggak mengerti kenapa Nico sekarang jadi seperti ini? Ini pasti ada sesuatu yang nggak beres. Apa elo ‘pelet’ Nico?”
Elice masih bertahan untuk mendengar kalimat demi kalimat yang benar-benar menguras kesabarannya.
“Setahun kita baik-baik saja, tapi setelah itu dia terus-terusan minta putus,” Artha diam sejenak. Dia menghela nafas panjang sebelum melanjutkan ucapannya. “Padahal gue udah bela-belain menyusul dia sampai ke Amerika. Tapi tetap saja yang ada di otaknya cuma elo.”
Plak! Sebuak tamparan mendarat di pipi Elice.
Pintu lift terbuka. Seseorang sudah berdiri di luar pintu lift.
“Artha!” pekik orang yang berdiri di luar kaget.
“Nico?” Artha tak menyangka Nico melihat apa yang baru saja dilakukannya pada Elice. Elice segera pergi keluar dari lift. Air matanya sudah tak terbendung lagi.
♔♔♔
“Kenapa elo melakukan itu, Nic?” tanya Elice pada Nico. Mereka berdua sedang duduk di kantin. Elice yang ingin segera menemui Pak Hendra untuk melaporkan pekerjaannya selama tugas di luar kota, mengurungkan niatnya. Tadi setelah dia mendapatkan tamparan dari Artha di dalam lift yang ternyata diketahui oleh Nico, dia langsung lari ke kamar mandi. Dan ternyata Nico mengikutinya. Setelah keluar dari kamar mandi, Nico mengajaknya untuk berbicara dan jadilah mereka sekarang sedang berada di kantin.
“Eee…” Nico bingung harus memulai penjelasannya dari mana.
“Elo sadar nggak, sih? Pada akhirnya apa yang elo lakuin ini hanya melukai perasaan gue dan juga Artha.”
“Maafin gue, El!”
“Jangan minta maaf sama gue, gue udah maafin elo dari dulu, kok. Sekarang ini Artha yang sedang terluka.”
“Tapi gue sayang sama loe. Gue sudah salah karena sudah lebih memilih…”
“Cukup,” potong Elice. “Itu sudah berlalu, Nic. Sekarang yang perlu elo lakukan adalah memperbaiki semua kesalahan loe itu.”
“Oke, gue akan perbaiki kesalahan gue.”
“Nah, itu bagus,” komentar Elice singkat.
“Elice,” panggil Nico serius. “Kembalilah ke sisi gue, El!”
“Heh?” sontan Elice kaget. “Itu nggak mungkin, Nic. Itu mustahil.”
“Kenapa? Gue yakin elo juga masih sayang sama gue. Buktinya elo masih menyimpan kalung dari gue,” kata Nico sambil melihat kalung berbandul mahkota yang melingkar di leher Elice. Elice meraba lehernya. Perlahan Elice meraih kait kalung itu dan melepaskannya. Tangan kiri Elice meraih tangan Nico, meletakkan kalung itu di telapak tangan Nico dan menutupnya hingga Nico menggenggam kalungnya.
“Gue nggak bisa menyimpan kalung ini lebih lama lagi, Nic,” kata Elice.
“Kenapa, El?” Nico bertanya-tanya.
“Luka itu dalam sekali buat gue. Ada di samping elo hanya akan membuka luka yang belum sembuh.”
“Tapi elo sudah maafin gue, kan?”
“Tenang saja, gue sudah maafin elo,” Elice menengadah agar air matanya tidak tumpah kembali.
“El?” panggil Nico pelan. Elice mencoba menatap Nico, membuat air matanya yang sedari tadi dia bendung kini tumpah. Dengan ibu jari tangan kanannya, Nico menghapus air mata Elice.
♔♔♔
“Selamat!” kata Pak Hendra sambil menjabat tangan Elice.
“Terima kasih, Pak,” jawab Elice senang. Hatinya berbunga-bunga sekali mendapat kabar dari Pak Hendra bahwa dia mendapatkan promosi jabatan di kantor pusat perusahaan mereka yang berada di Jepang.
“Selamat, ya!” ucap Danisa dan Lucita bersamaan setelah Pak Hendra keluar dari ruangan. Mereka bertiga berpelukan sambil loncat-loncat kegirangan, tak perduli dengan orang lain yang ada di kantor yang memperhatikan mereka.
“Asyik yah loe El, dapat promosi ke kantor pusat di Jepang,” goda Danisa dengan menekankan kata ‘Jepang’.
“Makanya kerja yang bener,” kata Elice.
“Tiga tahun apa nggak kelamaan, El?” tanya Lucita sedih.
“Iya, kita pasti bakal kangen,” tambah Danisa. Mereka bertiga berpelukan lagi tapi kini tanpa loncat-loncat.
♔♔♔
Malam ini Elice akan berangkat ke Jepang. Dengan diantarkan kedua sahabatnya, Elice sekarang sudah tiba di bandara. Pesawatnya akan berangkat pukul 21.00.
“Makasih ya, guys, sudah mengantarkan gue sampai bandara,” Elice berterima kasih.
“Elo ini kayak sama siapa aja? Kita ini kan teman. Apa lagi elo mau pergi jauh,” kata Lucita.
“Gue pasti akan pulang kalau ada waktu. Setidaknya setahun sekali,” Elice berusaha tersenyum di depan kedua temannya ini walau sebenarnya hatinya sangat berat untuk berpisah.
Lucita yang hendak menangis memeluk Elice begitu erat.
“Hati-hati ya, loe di negara orang. Sering-sering mention gue atau kirim wall ke gue,” pesan Lucita saat melepaskan pelukannya.
“Eh, elo kenapa sih, Dan?” tanya Elice pada Danisa yang terlihat cemas. “Loe nungguin siapa? Kalau elo ada janji, loe pulang dulu juga nggak pa-pa kok.”
“Nggak. Nggak nungguin siapa-siapa kok,” jawab Danisa yang masih saja celingak-celinguk. Tiba-tiba handphone Danisa berbunyi.
“Eh, sebentar ya,” Danisa menjauh untuk mengangkat teleponnya.
“Kenapa sih dia?” tanya Elice pada Lucita. Tapi yang ditanya hanya angkat bahu tanda tidak tahu.
“Halo! Elo ada dimana? Elice sudah mau take off, nih,” kata Danisa panjang lebar pada seseorang yang berada di ujung teleponnya.
“Gue terjebak macet nih. Sebentar lagi gue sampai,” jawab orang itu yang langsung menutup teleponnya.
Panggilan untuk penerbangan Elice sudah terdengar. Elice pun mengucapkan kata perpisahannya untuk kedua temannya. “Friendship won’t end though we are different apart. I will miss both of you.” Mereka pun berpelukan lagi.
“El, elo nggak ingin ketemu Nico sebelum loe pergi?” tanya Danisa yang telah membuat Elice kaget. Elice hanya menjawabnya dengan gelengan kepala.
“Gue pergi dulu,” pamit Elice. Dengan berat, Elice berjalan meninggalkan kedua temannya yang sudah dia anggap sebagai teman, saudara sekaligus sebagai tempat curhatnya. Elice memberikan tiketnya kepada petugas pemeriksaan tiket.
“Elice!” panggil seseorang. Tapi itu bukan suara Danisa ataupun Lucita. Elice pun menengok.
“Nico?” Elice tak percaya Nico mengejarnya sampai  ke bandara. Siapa yang memberitahunya bahwa dia berangkat hari ini dan jam ini? Nico memang tahu kalau dia akan pindah ke Jepang, tapi dia tidak memberitahu Nico kapan dia akan berangkat. Ah, ini pasti Danisa yang memberitahu. Pantas saja tadi dia bertanya apa aku mau bertemu Nico dulu? kata Elice dalam hati.
“El…Elice,” Nico terengah-engah.
“Yah?”
“Jangan pergi, El!” pinta Nico.
“Loe ngomong apa sih? Ini kan kesempatan buat gue untuk melebarkan sayap gue. Loe nggak suka melihat gue sukses?” tanya Elice bergurau.
“Kalau gue nggak bisa memiliki elo di sini, apakah gue bisa memiliki hati loe? Karena itu lebih dari cukup dan gue akan menunggu sampai loe kembali,” Nico masih berusaha untuk mendapatkan Elice kembali. Namun Elice menggeleng.
“Maaf, Nic. Itu gue nggak bisa. Loe boleh tunggu gue, tapi loe nggak bisa miliki hati gue,” Elice teguh pada pendiriannya. Luka itu memang terlalu dalam hingga Elice benar-benar menutup hati untuk Nico.
Nico diam tak berkutik. Lalu dia terinagt sesuatu. Nico mengeluarkan kalung itu dari saku celananya dan memakaikannya di leher Elice.
“Tapi elo bisa memiliki kalung ini, El. Cause you are the only queen in my heart.”
Tak ada kata lagi yang ingin Elice katakan. Dia segera berbalik dan meninggalkan Nico tanpa menengok lagi. Air mata menetes tanpa Elice sadari.
Sebenarnya gue juga masih sayang sama elo, Nic. Seandainya elo dulu nggak menorehkan luka itu, gue pasti akan memberikan hati ini, yang memang adalah milikmu.

THE END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar