Minggu, 01 Mei 2011

You Must Be Like A Star

Langit malam ini begitu bersih. Tak ada sedikitpun awan mendung di atas sana. Sinar bulan yang biasanya menjadi saingan sinar bintang yang setitik pun juga tak ada. Bintang-bintang yang berkerlip di langit memanjakan mata para penikmatnya.
Saat ini waktu sudah menunjukkan pukul 01.00. Melinda, seorang ibu rumah  tangga, yang sejak remaja sudah menjadi penggemar bintang, malam ini terbangun karena rasa rindunya terhadap bintang-bintang di langit. Musim hujan membuat langit tak mengijinkan bintang-bintang menampakkan diri. Namun, beberapa hari ini sepertinya musim hujan itu telah berakhir, buktinya malam ini langit sangat cerah.
 Melinda sudah menyiapkan sebuah teleskop sejak petang tadi, di balkon kamar anaknya. Diintipnya bintang-bintang itu dari ujung teleskop. Matanya berbinar dapat melihat kerlip bintang lagi.
“Rasi bintang salib,” gumam Melinda sambil tersenyum. Lalu dia menggeser teleskopnya sedikit ke atas.
“Woouu…” Melinda terkagum-kagum melihat sebuah bintang yang sangat terang dibandingkan yang lainnya. Tapi Melinda tidak tahu dari rasi apa bintang ini. Dia melangkah maju hingga mendekati bibir balkon dengan teleskop yang masih dipegangnya. Dia melihat ke sekeliling bintang itu, namun bintang yang lain tak begitu jelas.
Melinda menyandarkan tubuhnya di teralis besi yang tingginya sepinggang orang dewasa yang menjadi pagar balkon itu. Melinda tak mengingat bahwa teralis besi yang menjadi tumpuan tubuhnya itu sedang dalam perbaikan. Kemarin sore dia sendiri yang memanggil tukang untuk memperbaiki teralisnya.
Melinda mengarahkan teropongnya ke arah yang lain. Dia bisa melihat ribuan bintang di langit dan ini telah membuat hatinya gembira sekali malam ini. Entahlah, tapi bagi seorang pecinta bintang bisa melihat satu saja kerlip bintang di langit pada malam hari, itu adalah sebuah kebahagiaan tersendiri. Melinda yakin dirinya tidak gila. Karena di dunia ini pasti ada orang lain di luar sana yang juga menyukai bintang-bintang di langit. Dan mungkin sekarang ini ada juga yang sedang melakukan hal yang sama seperti Melinda.
“Ah, bintang jatuh!” seru Melinda.
Namun pada saat yang bersamaan dan tanpa Melinda sadari, semakin lama Melinda semakin bertumpu pada teralis itu. Bahkan Melinda meletakkan beban tubuhnya pada teralis besi itu. Teralis besi yang sedang dalam perbaikan itu tak kuat menahan beban Melinda.
“Aaaa…!!!” teriak Melinda. Melinda terjatuh.
êêê
Sejak kematian mamanya dua tahun yang lalu, Bintang tak pernah lagi menunjukkan wajah ramahnya. Dia tak pernah lagi tersenyum, terkecuali untuk papanya yang sekarang ini satu-satunya yang Bintang miliki. Bayangan kejadian itu selalu terbayang di benak Bintang, sehingga Bintang enggan untuk tersenyum lagi.
Di malam yang naas itu, Bintang terbangun karena udara dingin yang menerpa tubuhnya. Tempat tidurnya yang berhadapan dengan pintu balkon membuat Bintang bisa merasakan langsung terpaan udara dingin. Bintang berniat menutup pintu balkon, namun ternyata ada mamanya yang sedang asyik meneropong bintang-bintang di langit. Bintang tahu, mamanya sangat menyukai bintang, maka dari itu mamanya memberi nama dirinya Bintang. Bintang memutuskan untuk kembali pergi tidur dan tidak menganggu keasyikan mamanya. Namun saat Bintang hendak membaringkan kembali tubuhnya yang masih mengantuk, Bintang melihat mamanya terjatuh dari atas balkon. Ditambah teriakan mamanya yang sangat keras membuat Bintang tak bisa tidur untuk beberapa hari setelah kejadian itu.
Bintang merasa dirinya sangat tak berguna. Dia adalah anak satu-satunya di keluarga itu yang sangat diandalkan oleh mama-papanya, namun ternyata pada saat yang diperlukan, Bintang tak bisa melakukan apa-apa. Dia hanya bisa melihat mamanya jatuh dan akhirnya merenggang nyawa.
Rasa bersalah Bintang tak hanya sampai di situ, dia juga merasa bersalah pada papanya. Sejak kepergian mama,  papa menjadi sangat sibuk. Dulu mama adalah asisten setia papa. Sebagai pengusaha eksport-import, mereka sering  berbagi tugas. Papa mengurusi urusan di luar negeri sedangkan mama mengurusi urusan di dalam negeri. Sekarang semua itu menjadi pekerjaan papa. Hingga beberapa waktu yang lalu papa sempat masuk rumah sakit karena terlalu capek.
Bintang hanya bisa melihat papanya terbaring sakit tanpa bisa melakukan sesuatu. Dia sama sekali belum mengerti apa yang harus dilakukan seorang ekportir. Papanya juga masih belum mengijinkan Bintang untuk membantu papanya.
“Bintang, urusan kamu sekarang ini adalah sekolah,” kata papa kepada Bintang sambil terbaring di tempat tidur di rumah sakit.
“Jadi, Bintang harus melihat papa kecapekan setiap hari?” tanya Bintang. Usai sekolah tadi Bintang langsung pergi ke rumah sakit untuk menunggui papanya.
“Heiii… bukan begitu maksud papa, Nak,” papa membelai lembut rambut Bintang yang sedang duduk di samping ranjang tempat tidur papa. Sejak mama meninggal, papa memang harus memerankan dua peran sekaligus untuk Bintang, yaitu sebagai seorang papa dan sebagai seorang mama. Walaupun di rumah mereka ada pembantu yang siap melayani mereka setiap pagi, tapi papa selalu menyempatkan membuatkan sarapan untuk Bintang bila papa sedang berada di rumah, walaupun hanya menyiapkan roti dengan selai. Dan kebiasaan ini baru saja berlangsung sejak kepergian mama.
“Kamu harus belajar dan lulus menjadi seorang sarjana dan nantinya bisa meneruskan bisnis papa. Atau bila kamu memang tidak suka dengan bisnis ini, kamu bisa memilih pekerjaan apapun yang kamu suka. Asalkan kamu berjanji akan sungguh-sungguh, papa akan mendukungmu,” lanjut papa. Papa memang tidak pernah memaksakan kehendak Bintang. Maka dari itu Bintang sangat menyayangi papa yang satu-satunya Bintang miliki sekarang ini.
“Makasih, Pa,” kata Bintang.
êêê
Walaupun Bintang adalah seorang anak cowok, tapi Bintang sangat memperhatikan sekolahnya. Tidak seperti anak-anak cowok yang lainnya yang hanya datang ke sekolah pada pagi hari dan pulang saat bel pulang berbunyi. Bintang tidak langsung pulang saat bel sekolah berbunyi, dia mengikuti ekstrakurikuler yang ada di sekolahnya. Ekstrakurikuler yang Bintang ikuti adalah jurnalis. Dia sangat menyukai tulis-menulis dan dia sangat berbakat dalam hal ini. Bintang sering menuangkan perasaannya ke dalam sebuah tulisan. Mungkin bakat ini adalah turunan dari mamanya yang dulu saat remaja adalah seorang cerpenis yang sudah cukup terkenal. Namun saat memutuskan menikah dengan papa, mama memilih untuk beralih profesi sebagai seorang pebisnis membantu suaminya.
Hari ini adalah hari pemilihan ketua jurnalis. Bintang sudah sejak awal mencalonkan dirinya sebagai ketua jurnalis. Ilham, ketua jurnalis yang nantinya akan digantikan posisinya, mengumumkan sesuatu di depan para calon dan para anggota jurnalistik di sekolah itu.
“Selamat siang semuanya,” sapa Ilham.
“Siang…” seru semua orang yang ada di ruangan itu.
“Sebelumnya terima kasih atas partisipasinya dalam pemilihan calon ketua jurnalis ini. Siapapun nantinya yang akan terpilih, itu adalah yang terbaik bagi kita dan bagi ekstrakurikuler jurnalis kita ini,” Ilham diam sejenak. Dia sedang berdiskusi dengan orang yang ada di sampingnya. Semua orang di ruangan itu, yang kira-kira berjumlah 40 orang, dengan setia menunggu kelanjutan kallimat Ilham.
“Baiklah teman-teman, karena kalian hanya mencalonkan diri kalian sendiri dan belum mencalonkan wakil kalian, maka nama calon wakil kalian ditunggu hingga tiga hari ke depan. Dan agenda hari ini pun kita tunda” lanjut Ilham yang langsung diikuti suara gaduh dari yang lainnya. Karena agenda hari ini ditunda, Ilham pun langsung menutup pertemuan hari ini. Dan akan dilanjutkan tiga hari ke depan atau hari kamis mendatang.
êêê

Bintang sedang mengalami sedikit kesulitan. Dia sedang memikirkan siapa yang bersedia menjadi calon wakil dirinya dalam pemilihan ketua jurnalis? Sejak masuk di sekolah ini atau sejak satu semester lebih dua bulan menempati kelas sepuluh dua di bangku SMA, Bintang tidak mempunyai teman akrab yang bisa dia ajak bekerja sama dengan dia. Lagi-lagi sejak kepergian mamanya Bintang merasa takut untuk dekat dengan seseorang, baik laki-laki maupun perempuan. Dia takut kalau seseorang yang dekat dengan dia nantinya akan berakhir sama seperti mamanya. Namun terkecuali papa, kalau dia menjauhi papanya, siapa lagi yang akan memperhatikan papa yang satu-satunya Bintang miliki saat ini.
Sekarang Bintang sedang berada di perpustakaan. Tangannya sedang membolak-balik Koran. Walaupun matanya sedang menekuni tulisan yang ada di Koran itu, namun pikirannya tidak tertuju pada kata demi kata yang di bacanya. Dia sedang memikirkan calon wakilnya nanti.
Sementara itu, di kelasnya, Bintang sedang dicari oleh seseorang.
“Maaf, yang namanya Bintang Orion yang mana, yah?” tanya cewek itu.
“Bintang maksud loe?” yang ditanyai balik bertanya. Cewek itu sedikit ragu namun akhirnya dia mengiyakan juga. “Oh, dia biasanya jam istirahat kayak gini ke perpustakaan. Atau kalau enggak, dia biasanya ke ruang jurnalis.”
“Makasih, yah,” kata cewek itu yang langsung berlalu dari kelas Bintang. Dia segera menuju ke perpustakaan.
“Aura!” panggil seseorang dari belakang kepada cewek yang sedang ingin pergi ke perpustakaan dengan segera itu.
Cewek itu pun menghentikan langkahnya dan membalikkan badannya karena dia merasa dipanggil. Padahal perpustakaan hanya tinggal beberapa langkah lagi.
“Yah,” kata cewek yang ternyata bernama Aura. Nama lengkapnya sebenarnya adalah Aurora Ilyas. Tapi dia biasa dipanggil Aura oleh teman-temannya. Apa kata orang kalau dia dipanggil Aurora? Memangnya dia aurora mistis? Eh, itu aura, yah? Loh, bukannya itu palah panggilan cewek ini? Ah, hanya sekedar selingan saja.
“Ada apa, Riz?” tanya Aura pada temannya, Rizka.
“Cuma mau tanya aja, nih.”
“Tanya apa? Cepetan! Gue masih ada urusan penting, nih,” kata Aura sok sibuk.
“Elo kan anak jurnalis, iya kan?”
“Trus?” Aura mulai menunjukkan wajah terburu-burunya.
“Okay, gue langsung ke intinya aja. Pinjem novel Breaking Down-nya, dong” pinta Rizka dengan tampang memohon. “Gue belum baca buku itu, nih. Padahal film-nya udah mau diputer,” Rizka mengatakan maksud dan tujuannya sekaligus alasannya. Walaupun alasan yang dia miliki sama sekali nggak nyambung.
“Iya deh, besok,” jawab Aura singkat. Aura sudah hendak pergi dari tempat itu, tapi Rizka masih menahannnya dengan pertanyaan.
“Besok kapan? Elo dari kemaren-kemaren besok mulu jawabannya. Ntar kalau gue tanyain bukunya jawaban loe selalu lupa.”
“Yeee… habis setiap buku yang gue pinjemin ke elo selalu pulang dalam keadaan rusak,” Aura menekankan suaranya pada kata rusak.
“Gue janji kali ini enggak, deh.”
“Besok, deh. Gue lagi ada urusan.”
Aura baru saja hendak berbalik badan, namun bel tanda masuk telah berbunyi. Aura hanya bisa merasa kesal pada Rizka yang mengganggu jalannya yang hendak pergi ke perpustakaan.
Di belakang Aura, Bintang keluar dari perpustakaan.
êêê
Bintang merasa cemas, hari ini adalah hari terakhir untuk mengumpulkan nama calon wakil ketua untuk pemilihan ketua jurnalis. Tapi hingga saat ini Bintang belum juga mendapatkan seorang partner atau belum ada seseorangpun yang mau menjadi partnernya. Dia sempat berpikir, apa sebaiknya dia mengundurkan diri saja?
“Juno, elo beminat nggak sama jurnalis?” Bintang mencoba memberanikan diri bertanya pada salah satu teman sekelasnya.
“Aduh, makasih banget, deh. Sama tugas mengarang di pelajaran Bahasa Indonesia aja, gue udah pusing. Apalagi kalau gue harus mengarang tentang tema yang nggak jelas gitu,” tolak Juno. “Ada apa sih emangnya?”
“Sekarangkan ekstrakurikuler jurnalis sedang nyari ketua jurnalis yang baru. Dan gue coba-coba buat ikut pemilihan ketua itu. Tapi gue belum punya wakil.”
“Oh, gitu? Eh iya, kemaren ada cewek yang nyariin elo. Nggak tahu ada urusan apa, tapi kayaknya penting banget. Dia keliatan keburu-buru gitu.”
“Siapa?” tanya Bintang penasaran.
“Aurora, anak kelas sepuluh lima,” jawab Juno.
êêê
Pada jam istirahat berikutnya, Bintang langsung mencari cewek yang bernama Aurora itu. Entahlah, tapi yang terpikirkan Bintang saat itu adalah calon wakilnya dalam pemilihan ketua jurnalis ini. Sesampainya di depan pintu kelas sepuluh lima, Bintang bertanya pada gerobolan cewek yang sedang duduk-duduk di depan kelas.
“Sorry, mau tanya,” kata Bintang tidak yakin. Dia tidak yakin apakah Aurora ada dalam gerombolan ini. Jujur, walaupun hampir satu tahun menjadi murid di sekolah ini, Bintang merasa dirinya baru saja mendengar nama Aurora. Apalagi untuk  melihat cewek yang bernama Aurora itu, Bintang merasa dirinya belum pernah.
Cewek-cewek yang tadinya sedang asyik ngobrol itu pun menoleh ke arah Bintang. Mereka merasa seperti sedang melihat seorang pangeran nyasar ke kelas mereka. Ketampanan Bintang membuat cewek-cewek itu terpaku sejenak.
“Ada yang namanya Aurora, nggak?” tanya Bintang.
“Aurora?” cewek-cewek bertanya hampir bersamaan.
Salah satu dari cewek itu ada yang usil mengaku sebagai Aurora.
“Gue Aurora,” kata cewek itu sambil mengulurkan tangannya. Yang lainnya hanya terdiam.
“Ah, gue Bintang,” Bintang menjabat uluran tangan cewek itu. Namun, selanjutnya cewek-cewek itu hanya tertawa.
“Heh, elo ini cakep-cakep bego, yah?” kata cewek yang lain.
Bintang tidak mengerti dengan maksud cewek itu, “Maksud loe?”
“Dia itu bukan Aurora. Aurora atau Aura yang elo cari, tadi sih bilangnya mau ke kelas sepuluh dua.”
“Ke kelas?” gumam Bintang. Bintang langsung mengambil langkah seribu menuju kelasnya.
êêê
Lagi-lagi pencarian Aura di kelas sepuluh dua hasilnya nihil. Dia belum menemukan orang yang bernama Bintang itu. Hanya cowok yang kemarin yang dia temui yang mengatakan kalo Bintang sedang tidak ada di kelas.
Aura sedikit putus asa. Dia tidak langsung kembali ke kelasnya. Dia beristirahat sejenak di bangku yang ada di depan kelas sepuluh dua. Aura sedikit merenggangkan otot-otot kakinya yang tadi baru saja dia pakai untuk berlari ke kelas sepuluh dua ini. Kelas Aura dan kelas sepuluh dua memang jaraknya sedikit jauh. Kelas Aura berada di lantai satu sedangkan kelas sepuluh dua berada di lantai tiga. Aura tidak mengerti kenapa antara kelas sepuluh yang satu dengan kelas sepuluh yang lainnya tidak ditempatkan pada satu lantai saja. Setidaknya itu akan lebih memudahkan Aura bila harus bolak-balik ke kelas sepuluh dua seperti ini.
“Bintang tadi ada yang nyariin elo lagi, tuh.”
Aura seperti mendengar suara cowok yang ditanyainya tadi dari dalam kelas. Aura pun segera masuk ke kelas itu lagi.
“Yang mana yang namanya Bintang?” kata Aura dengan volume yang sedikit lebih keras. Semua orang yang berada di kelas itu pun menoleh ke arah Aura.
“Gue Bintang,” kata salah satu cowok yang ada di kelas itu dan memang itu adalah Bintang. Bintang mendekati Aura. Dan akhirnya dia mengajak Aura untuk bicara di luar karena keadaan kelas agak sedikit berisik. Walaupun ini adalah waktu istirahat, tapi kebanyakan murid kelas sepuluh dua menghabiskan waktu istirahat mereka di dalam kelas. Faktor kantin yang tidak berada di lantai tiga membuat para murid enggan untuk keluar kelas.
“Ada apa?” tanya Bintang.
“Elo calon ketua jurnalis yang belum dapat calon wakil itu, yah?” tanya Aura to the point.
Bintang sedikit lega mendengar pertanyaan itu, “Iya. Kenapa?”
“Siapa yang bakal jadi kandidat loe di pemilihan nanti?” tanya Aura hati-hati. Bintang hanya menggeleng.
Aura senang sekali melihat gelengan kepala Bintang. Dia langsung menebak dia pasti belum punya calon wakilnya, “Gue boleh….”
“Ah, boleh,” tanpa mendengarkan kelanjutan ucapan Aura, Bintang langsung mengajak Aura ke tempat panitia pemilihan ketua jurnalis. Mereka menemui Ade di kelas sebelas sains tiga, yang berlaku sebagai ketua panitia pemilihan ini.
êêê
Kemarin, setelah sepulang sekolah, pertemuan yang sempat ditundapun kembali dilanjutkan. Dengan resmi nama-nama calon ketua dan calon wakil ketua telah di umumkan. Ada empat pasang calon yang mendaftarkan diri mereka. Pemilihan akan dilakukan berdasarkan nilai terbaik dari sebuah penugasan dan bukan berdasarkan voting. Setiap pasangan calon diberi sebuah tugas untuk membuat sebuah karya tulis ilmiah dengan ketentuan dan syarat yang telah ditentukan. Batas pengumpulan tugas adalah akhir Maret atau tiga minggu dari sekarang.
Hari ini Bintang tidak mau menyianyiakan waktunya. Dia dan Aurora berencana memulai proyek besar mereka. Sepulang sekolah, Bintang dan Aura mengerjakan tugas ini di rumah Bintang.
“Rumah loe gede juga,” komentar Aura saat memasuki pagar rumah Bintang. “Elo berapa bersaudara? Anak bokap-nyokap loe banyak, yah? Rumahnya sampe segede gini.”
Bintang hanya diam saja. Dia sama sekali tak menanggapi komentar Aura. Sesampainya di ruang tamu, Bintang tidak langsung mempersilahkan Aura untuk duduk. Dia langsung pergi ke kamarnya  meningalkan Aura sendirian di ruang tamu.
“Tuan rumah apaan, tuh, ninggalin tamunya tanpa mempersilahkan duduk dulu. Aneh tuh orang,” gerutu Aura.
Mata Aura mengelilingi ruang tamu itu. Banyak benda benda berharga seperti pajangan yang terbuat dari Kristal yang terpajang rapi disebuah lemari kaca dan juga guci-guci mahal. Lukisan sebuah langit malam menarik perhatian mata Aura. Di tengah-tengah lukisan itu terdapat tiga bintang yang bersinar terang, dan ada empat bintang lagi yang mengelilingi ketiga bintang itu. Aura hanya tersenyum melihat lukisan itu.
“Orion,” gumam Aura.
“Yah?” terdengar suara Bintang dari belakang Aura. Aura membalikkan badannya. “Elo manggil gue?”
Aura binggung dengan pertanyaan Bintang. Oh iya, nama lengkap Bintang kan Bintang Orion dan dia tadi baru saja menggumamkan kata Orion. Mungkin dia pikir Aura memanggil namanya.
“Itu lukisan rasi bintang Orion, kan?” tanya Aura.
“Elo tahu?”
“Ya tahu lah. Ngapain sih titik-titik kayak gitu aja di lukis? Mending nglukis gue aja. Lebih cantik, lebih real, gitu loh. Hehehe…” goda Aura.
Bintang hanya diam saja. Wajahnya datar, tak memperlihatkan ekspersi apapun. Dia lupa cara tersenyum ataupun tertawa. Bahkan dia ingin belajar lagi bagaimana mengekspresikan rasa senang, marah, sedih, dan kecewa.
“Halooo…” Aura mengagetkan Bintang.
“Ayo dimulai!” ajak Bintang.
Tapi bukanlah Aura kalau dia menyerah begitu saja. Aura merasa dia belum mendapatkan jawaban atas pertanyaannya. Dia mencoba dengan sebuah pertanyaan yang lain.
“Loh, itu kok cuma foto elo sama bokap-nyokap loe, sih? Mana saudara-saudara loe yang katanya banyak?” tanya Aura sambil menunjuk sebuah foto keluarga yang tergantung di ruang tamu.
“Gue nggak bilang gue punya banyak saudara. Elo sendiri yang bilang kayak gitu,” kata Bintang dengan sorot mata yang tajam. Sebenarnya Bintang sudah memperlihatkan ketidaksukaannya pada Aura yang dari tadi menanyakan hal-hal yang tidak ingin Bintang ingat. “Kita mulai kerjaan aja kerjaan kita!”
êêê
Satu minggu sudah Bintang bekerja sama dengan Aura. Sejauh ini Bintang memang merasa kurang nyaman dengan Aura. Dia banyak bicara, dia juga masih sering menanyakan hal-hal yang sama sekali tak ingin Bintang jawab.
Sebenarnya tidak setiap hari waktu mereka digunakan untuk mengerjakan tugas yang merupakan syarat pemilihan ketua jurnalis. Faktor perbedaan kelas membuat Bintang dan Aura sulit untuk  menyesuaikan jadwal mereka. Contohnya saja kalau hari ini Bintang sedang sepi dari tugas-tugas atau PR, tapi Aura sibuk dengan PR-nya. Dan terkadang sebaliknya.
Hari demi hari terus berjalan, waktu pun semakin mendekati dengan batas akhir pengumpulan karya tulis.
Pada waktu istirahat tadi, Aura menemui Bintang. Dia mengajak Bintang untuk menyelesaikan tugas mereka. Kali ini Aura mengajak Bintang mengerjakan tugas itu di rumah Aura. Aura merasa tidak enak karena setiap mereka mengerjakan tugas selalu di rumah Bintang. Biar adil, begitulah menurut Aura.
“Pak, mampir ke toko di depan itu dulu, yah!” pinta Aura pada sopir pribadi Bintang. Setiap hari Bintang memang selalu diantar jemput dengan mobil oleh supirnya.
“Iya, mbak,” kata sopir itu menuruti perkataan Aura.
“Ngapain mampir-mampir segala? Kita kan mau ngerjain tugas,” tanya Bintang. Namun Aura tak menjawab.
“Ah, iya pak, berhenti disini!” Aura memberi aba-aba lagi pada pak sopir. Mereka berhenti di sebuah toko yang sepertinya ini adalah toko kado.
“Mau ikut turun, nggak?” tanya Aura pada Bintang.
“Mau ngapain?” Bintang malas sekali rasanya menuruti cewek satu ini. Sebenarnya sempat terbersit sebuah tanda tanya besar dalam hati Bintang, apakah nantinya dia bisa bekerja sama dengan Aura?
“Ayo, ikut aja!” paksa Aura sambil menarik tangan Bintang dan mereka keluar dari mobil.
Memasuki toko itu, Bintang dan Aura disambut oleh nuansa yang serba pink. Hanya sedikit barang-barang di toko itu yang berwarna selain pink.
“Mau ngapain kita di sini?” tanya Bintang.
“Eh, bentar yah. Gue mau nyari kado buat nyokap gue.”
“Oh,” hanya dua huruf o dan huruf h yang keluar dari mulut Bintang. Seharusnya dia juga bisa melakukan hal yang sama kepada mamanya setiap tahunnya seperti yang dilakukan Aura. Tapi dua tahun belakangan ini Bintang tak bisa melakukan hal itu. Yah, tentu saja karena sudah dua tahun mamanya telah pergi meninggalkan Bintang untuk selamanya.
“Ini bangus nggak?” tanya Aura pada Bintang sambil menunjukkan sebuah boneka berwarna kuning yang berbentuk bintang.
Bintang hanya diam, lagi-lagi tanpa ekspresi. Dia merasa aneh sendiri melihat bentuk dari namanya itu.
“Heiii…” ucap Aura. Bintang pun tersentak kaget.
Bintang mengambil boneka itu dari tangan Aura dan meletakkannya kembali.
“Kekanak-kanakan,” kata Bintang. Bintang menarik Aura keluar dari tempat itu.
êêê
Saat memasuki ruang tamu di rumah Aura, Bintang sedikit kaget dengan keadaan rumah Aura. Rumah ini tidak terlalu besar seperti rumah Bintang, hanya saja yang membuat Bintang kaget adalah rumah ini sangat berantakan dan tak terlihat bahwa penghuninya adalah dua orang perempuan  yang biasanya suka dengan kebersihan.
“Ma… Mama!” panggil Aura keras, namun tak ada yang menjawab.
“Maaf, yah, berantakan,” kata Aura sambil membereskan sofa di ruang tamu itu. “Duduk, deh!”
Bintang sedikit ragu namun akhirya dia duduk juga. Ini adalah pertama kalinya Bintang pergi ke rumah temannya sejak duduk di bangku SMA.
Aura masuk ke dalam, meninggalkan Bintang sendirian di ruang tamu. Dia masuk ke kamarnya dan menemukan mamanya sedang tertidur lelap.
“Mama… bangun!” kata Aura sambil mengguncang-guncang tubuh mamanya. Mama mulai terbangun dan menguap.
“Mama begadang lagi, yah?” tebak Aura. “Aura kan sudah bilang, hari ini Aura mau mengajak teman Aura belajar di sini, kenapa mama nggak beres-beres rumah? Kan malu, Ma, kalau ada temen yang dateng tapi rumah berantakan.”
“Ah, kamu ini, Ra. Tenang saja, temanmu nggak bakalan protes kalau rumah kita berantakan,” jawab mama santai.
“Mama begadang lagi?” Aura menanyakan lagi pertanyaannya yang belum dijawab.
“Iya, mama tadi malam begadang. Untung semalam mama terbangun. Semalam langit cerah banget,” jawab mama dengan wajah gembira. Mama Aura adalah seorang penikmat setia kerlip bintang. Separah apapun kantuk menyerang, tapi kalau itu berurusan dengan bintang semua itu pasti akan hilang.
“Ma, gara-gara hobi mama yang aneh itu, keluarga ini jadi berantakan,” kata Aura sewot. Sebenarnya mata Aura sudah berkaca-kaca, tapi di berusaha menahan air matanya. Dan mama tahu bahwa anaknya itu sedang menahan air matanya. Mama hendak memeluk Aura, namun Aura menepisnya.
“Ah udah, Ma, sekarang mama beresin ruang tamu. Aura mengajak temen Aura buat belajar di sini. Aura mau ganti baju dulu,” kata Aura.
Mama tidak menjawab. Mama tahu ini semua adalah kesalahannya. Mama sering begadang demi hobinya. Dan  paginya mama bangun kesiangan sehingga tidak sempat mengurus dan melayani keluarganya. Akibatnya papa Aura menggugat cerai. Sekarang anak laki-lakinya yang berusia lima tahun lebih tua dari Aura tinggal bersama mantan suaminya. Walaupun hobinya itu sudah membawa mama pada status janda, tapi tetap saja itu tidak membawa perubahan pada mama. Bahkan menurut Aura mama semakin menjadi. Hal ini tentu saja menyulitkan Aura karena dia yang harus mengerjakan pekerjaan rumah.
Mama keluar menemui teman anaknya yang akan diajak belajar, hanya dengan baju tidur yang masih lusuh dan rambut yang masih acak-acakan. Dengan sedikit rasa khawatir akan nafasnya yang pasti masih bau, mama berusaha tersenyum pada Bintang. Tapi tidak ada reaksi apapun dari Bintang.
“Temannya Aura, ya?” tanya mama.
“Iya tante,” jawab Bintang singkat.
“Ah, maaf ya, rumahnya berantakan. Tante sibuk sekali, jadinya ya…”
“Sibuk apa?” serobot Aura dari belakang. “Kerjaan mama cuma begadang tiap malem buat melototin bintang yang nggak tahu kalau sedang mama pantengin.”
“Bintang itu indah, Ra,” bela mama.
“Apanya yang bagus? Gara-gara bintang keluarga ini hancur, Ma,” kata Aura tanpa ragu lagi. Dia tidak memperdulikan Bintang yang berada di ruangan yang sama dengan mereka. Dan tanpa Aura sadari, dia telah menyinggung perasaan Bintang.
Kenapa bintang selalu jadi penghancur? tanya Bintang dalam hati. Bintang merasa dirinya adalah penghancur maka dari itu dia tidak ingin berada di situ lebih lama lagi. Bintang pun pergi dari rumah Aura tanpa pamit. Sementara itu, mama dan Aura masih memperdebatkan masalah itu.
“Bintang!” kejar Aura. Tapi Bintang sudah masuk ke dalam mobil dan mobil itu segera melaju.
êêê
“Maafin gue dan nyokap gue yah, atas kejadian kemarin itu,” kata Aura saat mereka melanjutkan tugas mereka dua hari kemudian. Sebenarnya Aura merasa canggung untuk menemui Bintang lagi. Tapi dia harus meminta maaf atas kejadian ini. Semua ini gara-gara mama dan bintang-bintang itu. Namun Bintang hanya diam saja. Dia memilih menekuni pekerjaan mereka yang date line-nya tinggal beberapa hari lagi.
êêê
Akhirnya tugas mereka pun selesai juga. Dan date line pengumpulan tugas karya tulis ilmiah sebagai tugas penentuan pemilihan ketua ekstrakurikuler jurnalis pun telah tiba. Dengan langkah yang mantap, Aura dan Bintang membawa karya tulis mereka ke sekertariat jurnalis untuk dikumpulkan.
Perasaan Aura tak karuan. Dia sangat berharap dia dan Bintang lah yang akan terpilih sebagai ketua dan wakil ketua tahun ini.
“Bintang, kira-kira kita terpilih nggak, yah?” tanya Aura saat mereka keluar dari ruangan ekstrakurikuler. Seperti biasa, Bintang hanya diam tak menjawab pertanyaan Aura. Entahlah, Bintang sendiri tak tahu apakah dia sudah bisa memaafkan Aura atas pertengkaran Aura dan mamanya. Tapi apa yang sebenarnya harus dimaafkan? Lagi pula Bintang bukan korban dari pertengkaran itu. Hanya saja bintang menjadi masalah dalam pertengkaran itu.
Bintang merasa dirinya selalu menjadi masalah bagi orang-orang yang berada di dekatnya. Walaupun sebenarnya bintang yang dimaksud bukanlah Bintang Orion melainkan bintang yang berada di langit, tapi Bintang tetap merasa itu adalah dirinya. Dia menjadi Bintang Orion karena mamanya yang sangat suka pada bintang-bintang di langit, maka dari itu mamanya memberi nama Bintang Orion.
“Bintang, kok diem aja?” tanya Aura.
“Jangan deketin gue!” kata Bintang singkat dan dia mempercepat langkahnya.
“Bintang!” panggil Aura.
êêê
Saat pulang sekolah, Aura melihat sopir pribadi Bintang sedang menunggu Bintang di depan pintu gerbang sekolah. Aura berinisiatif menanyakan keadaan Bintang pada sopir pribadinya itu, siapa tahu pak sopir itu tahu cerita tentang Bintang.
“Lagi nunggu Bintang ya, Pak?” tanya Aura pada pak sopir. Sopir itu terlihat sedang berpikir. Mungkin sedang mencoba mengingat-ingat siapakah gerangan yang sedang bertanya ini.
“Masih ingat sama saya kan, Pak? Saya Aura, temennya Bintang,” kata Aura.
“Lha iya atuh, Neng. Kan cuma eneng temen cewek Den Bintang yang di ajak naik mobil ini.”
Mendengar jawaban pak sopir itu Aura jadi tersipu malu. Apa benar dia adalah cewek pertama yang diajak Bintang naik mobil bareng? Tapi Aura tidak mau terlalu jauh jatuh dalam khayalannya, dia teringat tujuannya menghampiri pak sopir ini.
“Pak, sebenarnya apa yang udah terjadi sama Bintang?” tanya Aura to the point.
“Eneng nanyain Den Bintang?” pak sopir itu kurang yakin, padahal Jelas-jelas Aura sudah menyertakan nama Bintang dalam pertanyaanya tadi.
“Iya, Pak. Kenapa Bintang sepertinya nggak suka sama orang-orang yang mendekti dia?”
“Ceritanya panjang, Neng. Begini ceritanya…”
Pak sopir itu menceritakan kejadian saat mama Bintang meninggal. Kejadian yang telah membuat Bintang berubah. Bintang dulu adalah seorang yang sangat periang dan banyak teman. Tapi sejak kejadian itu dia menjauh dari teman-temannya.
“Jangan sampai kalian semua jadi korban gue yang selanjutnya,” kata Bintang pada teman-temannya. Peristiwa ini memang telah membuat Bintang sempat kehilangan kendali. Dia juga pernah mencoba untuk bunuh diri. Saat itu Bintang pergi membawa mobil sendirian. Dengan kecepatan yang sangat tinggi Bintang mengemudikan mobilnya sehingga dia menabrak sebuah trotoar jalan. Untung saja kecelakaan itu hanya membuat tulang kakinya patah. Sejak saat itu, papa Bintang memberikan seorang supir pribadi untuk Bintang.
êêê
Pada hari minggu yang cerah, Aura pegi ke rumah Bintang. Entahlah, tapi ada suatu perasaan yang mendorongnya untuk pergi ke sana.
Sesampainya di depan gerbang rumah Bintang, Aura tidak langsung menekan bel, dia masih saja berdiri di depan gerbang. Dia masih ragu dengan apa yang dilakukannya itu.
Aura mencoba mengintip ke dalam rumah. Tiba-tiba Bintang dan papanya keluar dari dalam rumah. Mereka terlihat seperti anak dan ayah yang sangat rukun. Bintang juga memperlihatkan seyumnya pada papanya. Sesuatu yang tak pernah Bintang perlihatkan pada Aura.
“Cakepnya…” gumam Aura tanpa sadar.
“Neng!” tegur seseorang dari belakang. Aura pun kaget dibuatnya.
“Ah, bapak, ngagetin saja,” kata Aura. Ternyata itu adalah sopir pribadi Bintang.
“Siapa di sana?” tanya papa Bintang dari dalam.
“Saya, Tuan,” teriak pak sopir. “Ayo, Neng, masuk aja!” ajak pak sopir pada Aura. Aura pun mengikuti pak sopir masuk ke dalam.
Bintang terlihat kaget melihat Aura masuk bersama pak sopir.
“Aura?” kata Bintang.
“Temen kamu, Bintang?” tanya papa. Bintang hanya diam. Senyum yang tadi terlihat, hilang begitu saja saat kedatangan Aura.
“Iya, om, saya temennya Bintang,” Aura menjawab pertanyaan papa Bintang.
“Ya sudah, papa tinggal kalian berdua.” Papa Bintang segera masuk ke dalam rumah lagi.
“Ada apa loe ke sini?” tanya Bintang ketus.
“Gue…” Aura ragu untuk melanjutkan. Bintang masih diam menunggu Aura menyelesaikan kalimatnya. “Gue minta maaf, kalau ternyata pertengkaran gue sama nyokap gue waktu itu menyinggung perasaan loe.”
“Cuma itu?” tanya Bintang masih tanpa memasukkan unsur perasaan dalam pertanyaanya itu. Nadanya masih saja ketus. Padahal Aura sudah berusaha untuk tidak menyinggung perasaan Bintang lagi karena Aura sudah tahu masalahnya.
“Waktu itu gue pernah ngomong kalau gara-gara bintang keluarga gue jadi hancur…”
“Stop!” kata Bintang. Bintang sama sekali tidak mau mendengarkan apapun kelanjutannya, bila Aura ingin membahas tentang itu. Bintang hendak masuk ke dalam rumah, tapi Aura menarik lengan Bintang sehingga Bintang menghentikan langkahnya.
“Dengerin gue, Bintang!” mata Aura mulai berkaca-kaca. Sebenarnya Aura tidak suka pada bintang tapi dia harus meyakinkan pada Bintang bahwa sebenarnya bintang-bintang itu indah.
“Mungkin sebagian cerita keluarga gue elo udah tahu dari pertengkaran gue sama nyokap gue. Dan kehancuran keluarga gue emang disebabkan oleh mama yang sangat suka sekali dengan bintang-bintang itu. Mirisnya, kehancuran keluarga gue dan kematian nyokap loe diakibatkan oleh suatu hal yang sama,” Aura diam sejenak untuk menghapus air matanya yang mulai menetes.
“Tapi elo harus yakin kalau bintang-bintang itu tidak sama dengan Bintang Orion. Bintang adalah bintang dan Bintang Orion adalah seseorang yang kuat yang mampu menghadapi apapun,” Aura tidak yakin apakah ucapanya barusan mengena di hati Bintang. Tapi yang jelas, Aura ingin Bintang tidak terus-terusan menyalahkan dirinya atas semua kejadian ini. Aura yakin semua ini sudah menjadi takdir hidupnya dan hidup Bintang.
Aura sudah tak bisa lagi menahan air matanya. Dia ingin segera pulang dan menumpahkan semua air matanya di atas tempat tidurnya, tapi sekarang giliran Bintang yang mencegah langkah Aura. Bintang menarik Aura ke dalam pelukannya.
“Terima kasih, Ra. Gue tahu, selama ini elo berusaha buat nyadarin gue. Gue emang bodoh, Ra,” kata Bintang. Aura pun semakin tak bisa membendung air matanya.
êêê
“Terima kasih kepada almarhumah mama saya yang telah melahirkan dan mengasuh saya hingga akhir hidupnya, terimakasih juga untuk papa saya yang harus menggantikan peran mama setelah kepergian mama. Dan terima kasih untuk semuanya yang telah mendukung saya. Saya berjanji akan menjalankan amanah saya sebagai ketua ekstrakurikuler jurnalistik dalam setahun ke depan…” kata Bintang dalam pidatonya.
Hari ini akhirnya di umumkan ketua jurnalistik yang baru. Dan ternyata Bintang dan Aura lah yang terpilih.
êêê
Untuk pertama kalinya Aura melihat Bintang tersenyum tanpa papanya di sisinya. Dulu Aura hanya bisa melihat senyum Bintang saat Bintang sedang bersama papanya. Bahkan, dulu Aura sempat berpikir saat Tuhan sedang membagikan urat senyum, mungkin Bintang tidak datang, maka dari itu Bintang tidak tahu cara tersenyum. Tapi ternyata itu salah. Kini Bintang adalah seorang bintang yang bersinar.
“Bintang, nama lengkap loe Bintang Orion, kan?” tanya Aura saat mereka sedang merayakan keberhasilan mereka di kantin sekolah.
“He em,” jawab Bintang sambil menyuapkan Soto ke mulutnya.
“Eee…nama lengkap gue Aurora Ilyas. Elo pernah diceritain sama nyokap loe belum tentang Orion sama Aurora? Kalau sebenarnya dalam cerita masyarakat Yunani Kuno, Orion sama Aurora itu adalah sepasang kekasih.”
“Iya pernah. Trus maksud loe?” tanya Bintang dengan mulutnya yang penuh.
“Tapi… kalo Bintang dan Aurora yang satu ini sepasang kekasih bukan, yah?” tanya Aura tersipu malu.

THE END

Sabtu, 29 Januari 2011

Geu Saram / That Peson Ost. Baker Kim Tak Goo

Sedikit menyelipkan lirik lagu yaa...



Hangul Version:

사람 웃게 사람
사람 울게 사람
사람 따뜻한 입술로 내게
심장을 찾아준 사람

사랑 지울 없는데
사랑 잊을 없는데
사람 같은 사람
그런 사람이 떠나가네요

사람아 사랑아 아픈 가슴아
아무것도 모른 사람아
랑했고 사랑해서
보낼 밖에 없는 사람아.. 사랑아

가슴 너덜 거린데도
추억 날을 세워 찔러도
사람 흘릴 눈물이
나를 더욱더 아프게 하네요

사람아 사랑아 아픈 가슴아

아무것도 모르는 사람아
눈물 대신 슬픔 대신
나를 잊고 행복하게 살아줘... 사랑아

우리삶이 다해서 우리 두눈 감을때 그때 한번 기억해

사람아 사랑아 아픈 가슴아
아무것도 모른 사람아
사랑했고 사랑해서
보낼 밖에 없는 사람아..

사랑아 사랑아 사랑아

Romanization Version:

geu saram nal utge han saram
geu saram nal ulge han saram
geu saram ttatteutan ipsullo naege
nae simjangeul chajajun saram

geu sarang jiul su eomneunde
geu sarang ijeul su eomneunde
geu saram nae sum gateun saram
geureon sarami tteonaganeyo

geu sarama saranga apeun gaseuma
amugeotdo moreun sarama
saranghaetgo tto saranghaeseo
bonael su bakke eomneun sarama..nae saranga

nae gaseum neodeol georindedo
geu chueok nareul sewo jjilleodo
geu saram heullil nunmuri
nareul deoukdeo apeuge haneyo

geu sarama saranga apeun gaseuma

amugeotdo moreuneun sarama
nunmul daesin seulpeum daesin
nareul itgo haengbokhage sarajwo...nae saranga

urisarmi dahaeseo 
uri dunun gameulttae geuttae hanbeon gieokhae

geu sarama saranga apeun gaseuma
amugeotdo moreun sarama
saranghaetgo tto saranghaeseo
bonael su bakke eomneun sarama..

nae saranga nae saranga nae saranga

 Indonesia Version:

Dia adalah orang yang membuatku tersenyum
Dia adalah orang yang membuatku menangis,
Dan ia adalah orang yang meraih hatiku lewat kehangatan bibirnya
Dia tak bisa ku hapus
Dia tak bisa kulupakan
Dia adalah seperti nafasku
Namun orang itu sekarang telah pergi
Karena Orang itu, cinta itu, hatiku sakit
Apakah kau tak tahu apapun, kekasihku
Aku telah mencintaimu dan terus mencintaimu
Aku harus menjalani ini ( membiarkan kau pergi )
oh cintaku….
Hatiku pun  telah tercabik-cabik
Kenangan itu pun terasa menusuk di setiap hariku
Dia yang mengalir air matanya
Sangat membuat hatiku sedih
Karena Orang itu, cinta itu, hatiku sakit
Apakah kau tak tahu apapun, kekasihku
sebagai ganti air mata dan kesedihan
Lupakanlah aku dan hiduplah dengan bahagia
oh Cintaku
Saat kehidupan kita telah berakhir
Saat menutup kedua mata kita, saat itu sekali saja ingatlah aku
Karena Orang itu, cinta itu, hatiku sakit
Apakah kau tak tahu apapun, kekasihku
Aku telah mencintaimu dan terus mencintaimu
Aku harus menjalani ini ( membiarkan kau pergi )
oh cintaku .. oh cintaku... oh cintaku