Kamis, 27 Januari 2011

Bintang Jatuh


                    Sesuatu yang telah terjadi memang tidak akan pernah kembali terulang. Detik demi detik, menit demi menit akan terus berjalan. Tapi, setiap orang yang pernah melakulan kesalahan atau orang yang telah menyiakan sesuatu, pasti ingin sekali kembali ke masa itu. Hanya saja itu tidak akan pernah bisa. Sesal yang tertinggal takkan mampu mengubah keadaan yang ada.
Begitu pula penyesalan yang dirasakan Indita, hatinya yang mengiyakan bahwa dia menyayangi Dicka namun bibirnya tak sanggup mengucapkannya. Hal ini lantaran Dicka adalah cowok yang telah dikhianati oleh kekasihnya sendiri, dimana kekasihnya itu adalah Yolan, sahabat Indita. Indita merasa tak enak pada Dicka karena dulu dia pernah menyembunyikan kenyataan bahwa Yolan berselingkuh dengan cowok lain.
Walaupun kejadian ini sudah terjadi satu setengah tahun yang lalu saat, Indita duduk di bangku kelas dua SMA, Indita masih belum bisa memaafkan dirinya. Dan sekarang, walaupun Indita mampu memaafkan dirinya dan berani mengunggapkan perasaannya pada Dicka, ia tetap takkan bisa. Karena sebulan yang lalu Dicka menerima tawaran beasiswa untuk melanjutkan kuliahnya di Australia, sedangkan Indita hanya memilih untuk melanjutkan kuliah di Jakarta.
Pagi ini seperti biasa, Indita bersiap untuk berangkat kuliah. Motor matic kesayangannya sudah siap di depan rumah untuk mengantarkannya ke kampus. Keluarga Indita hanyalah keluarga sederha yang tak mempunyai mobil sebagai kendaraan pribadi. Berbeda dengan keluarga mantan sahabatnya, Yolan, yang langsung menjadikan mobil sebagai kendaraan pribadi saat Yolan memiliki KTP alias saat di ulang tahunnya yang ke-17. Mengapa mantan sahabat? Karena sejak putusnya hubungan asmara antara Yolan dan Dicka, Yolan jadi menyalahkan Indita sebagai penyebabnya karena tak dapat menjaga rahasia.
“Eh, In, udah ngerjain tugas belum loe?” sapa Siska saat Indita sampai di kampus.
“Teman apaan sih loe? Nyari gue kalo lagi ada tugas aja. Liat aja kalo lagi gak ada tugas, gue pasti loe cuekin,” ucap Indita yang sebenarnya tidak dari hati. Walau baru satu semester Indita mengenal Siska, tapi dia sudah bisa mengakrabkan diri dengan Siska. Mereka juga sudah mulai dengan cerita masalah pribadi masing-masing. “Ntar kalo udah di kelas aja.”
“Siip lah,” senyum kemenangan muncul dari bibir Siska. Mereka pun segera masuk ke kelas.
***
“In, sebenernya loe suka gak sih sama Dicka?” Siska mulai bertanya saat Indita selesai bercerita tentang masa lalunya. Tadi, seusai kuliah mereka pergi ke sebuah pusat perbelanjaan. Indita sudah berjanji mau menemani teman barunya itu mencari sepatu putih. Siska ingin menyalurkan hobi menggambarnya di atas sepatu itu. Lagipula sekarang ini sedang nge-trend sepatu dengan lukisan di atasnya. Setelah mendapatkan sepatu itu, sebagai rasa terima kasihnya, Siska mentraktir Indita makan di warung bakso. Maklum, sebagai mahasiswa perantauan dari kota Solo, Siska tidak mampu mentraktir Indita di restaurant mahal. Buat mencukupi kebutuhannya di Jakarta saja terkadang Siska masih membutuhkan sumbangan.
“Tapi gue nggak pantes buat dia. Gue udah membantu Yolan untuk bohongin dia,” cerita Indita.
“Bukankah kejadian itu udah satu setengah tahun yang lalu? Dan Yolan langsung menghilang setelah kejadian itu. Tapi dalam setahun loe masih ketemu sama Dicka karena loe temen satu sekolahnya. Apa loe pernah tanya tentang perasaannya ke elo?” tanya Siska lagi. Siska memang sama sekali tak menunjukkan bahwa dia asli orang Solo yang memiliki tutur kata yang lemah lembut. Logat bahasanya pun tak ada yang menunjukkan bahwa dia warga Solo, hal ini di karenakan orang tua Siska yang keturunan Batak. Siska hanya numpang lahir dan tinggal di Solo.
“Gue sama sekali nggak berani, Sis. Sejak kejadian itu, ngobrol sama Dicka saja hanya seperlunya aja.”
“Yee… loe ini gimana sih? Padahal menurut gue, itu adalah kesempatan besar buat loe. Kenapa gue bilang kesempatan besar? Karena gak ada lagi Yolan yang menjadi penghalang loe. Lagian kenapa sih loe dulu nyerahin Dicka sama Yolan, kalo sebenarnya elo suka sama Dicka?”
Indita hanya diam saja mendengar celotehan temannya itu. Biar saja Siska berbicara apapun yang dia suka, karena dia tak tahu keadaan yang dulu sebebarnya terjadi. Yolan adalah anak manja yang semua keinginannya harus dipenuhi. Tak perduli walaupun ada hati yang tersakiti.
“Andai saja malam ini ada bintang jatuh…” kata Siska menggantungkan ucapannya.
“Kenapa emangnya?”
“Ntar malem kalo ada bintang jatuh, minta aja satu permohonan.”
“Apa?”
“Minta agar semua ini bisa diulang kembali dan elo bisa memperbaikinya. Keren kan?” khayalan Siska emang aneh dan tak mungkin terjadi. Tapi, bukanlah Siska kalau tidak aneh.
***
“Dicka!” panggil Indita pada seseorang yang ada jauh di depannya. Cowok yang dipanggil itupun menoleh padanya dan berjalan ke arah Indita. Mereka seperti berada di sebuah bandara. Dan Indita tahu, ini adalah bandara Soekarno-Hatta.
“Ada apa, In?” tanya Dicka. Namun Indita hanya diam. Lama Indita terdiam, sosok Dicka yang ada di depannya mulai kabur dari pandangannya. Tiba-tiba semua yang ada di sekelilingnya menjadi putih. Indita seperti melayang. Indita ingin berlutut dan menangis.
“Maafin gue, Lan,” kata Indita yang tiba-tiba berlutut di depan Yolan. “Gue sama sekali nggak cerita sama Dicka. Dia tadi cerita ke gue kalau dia pernah lihat elo sama cowok itu, tapi gue belum sempet cerita ke elo,” Indita menjelaskan semuanya pada Yolan dengan menangis tersedu.
“Pembohong! Pengkhianat loe!” teriak Yolan.
“Bukan! Tidakkk!!!” Indita terbangun dari mimpi buruknya. Badannya penuh dengan keringat dingin. Napasnya naik-turun. Dia sangat ketakutan sekali. Pembohong dan pengkhianat, adalah kata-kata yang telah membuatnya berkeringat dingin. Dia merasa dirinya bukanlah seorang pembohong karena tidak ada yang dia sembunyikan dari Yolan. Dan dia bukanlah seorang pengkhianat karena dia telah sebisa mungkin melakukan yang dia bisa untuk Yolan. Justru kepada Dicka dia telah melakukan seuatu kebohongan besar. Seharusnya Dicka lah yang dia takuti. Tapi setahun setelah kejadian itu, mereka masih bersekolah di sekolah yang sama dan Dicka baik-baik saja terhadap Indita. Sedangkan Yolan menghilang entah kemana. Setelah kejadian itu rumah Yolan juga sepi tak berpenghuni.
Indita berusaha mengatur nafasnya. Jam digitalnya telah menunjukkan pukul 01.37 dini hari. Dia bangun dan berjalan keluar dari kamarnya. Dibukanya puntu lemari es yang berada di dapur. Mimpi buruknya barusan telah membuatnya haus. Indita masih enggan untuk segera tidur kembali, dia duduk-duduk di ruang keluarga. Ruangan itu lumayan gelap karena setiap malam lampu di ruangan itu memang dimatikan. Hanya pantulan cahaya lampu dari kamar mama dan papa yang berada tepat di depan ruang keluarga membuat ruangan ini menjadi sedikit terang.
Suhu udara malam ini sebenarnya lumayan dingin, tapi karena keringat dingin yang disebabkan oleh mimpi buruknya, Indita merasa suhu ruangan kali ini sedikit panas. Indita membuka jendela ruang keluarga, dia berdiri di samping jendela memandangi langit malam itu yang sangat cerah. Bintang-bintang berkerlap-kerlip bagai berkedip pada Indita.
“Andai ada bintang jatuh,” gumam Indita, matanya memandangi langit di atas rumahnya yang sangat indah. Pikiran Indita ruwet sekali malam ini, banyak sekali yang dia pikirkan.
Indita memejamkan matanya. Berharap tak melihat lagi masalah-masalah yang mengganggu pikirannya. Sungguh dia ingin menjelaskan semuanya pada Yolan dan mengungkapkan perasaannya ada Dicka.
Dari jauh sebuah cahaya kecil mendekat. Semakin mendekat. Membentuk sebuah garis yang indah dan berkilau. Namun, cahaya itu sangat cepat. Sayang Indita tak melihat.
“Tuhan, andaikan aku bisa, aku ingin kembali ke waktu sebelum Yolan menghilang dan aku ingin menjelaskan semuanya. Aku juga ingin mengatakan yang sesungguhnya pada Dicka,” saat Indita selesai dengan ucapannya, cahaya itu juga menghilang. Cahaya itu tadi adalah kilauan dari sebuah bintang yang jatuh.
***
Indita terbangun saat mamanya mengetuk pintu kamarnya.
“In, bangun sayang!” suara lembut penuh kasih sayang mama Indita terdengar dari balik pintu.
“Iya, Ma…” sahut Indita. Indita segera bergegas masuk ke kamar mandi. Usai mandi, masih dengan tubuh masih dibalut selembar kain handuk, Indita membuka lemari pakaiannya. Indita kaget dengan apa yang dilihatnya di dalam lemari.
“Ma… kenapa seragam SMA-nya masih ada di lemari? Kemarinkan udah ditaruh di gudang.”
Tanpa mengetuk pintu mamanya masuk ke kamar Indita. “Kamu ini gimana sih? Kamu mau pakai seragamnya siapa kalo seragammu ditaruh di gudang?”
Indita tak mengerti dengan ucapan mamanya. Dia kan tahun ini sudah duduk di bangku kuliah. Tak sengaja mata Indita melihat kalender kecil yang ada di meja belajarnya. Di kalender itu tertera dengan tulisan yang besar-besar tahun 2008. Dan di bawah tulisan itu tertera bulan Agustus.
“Agustus 2008,” gumam Indita. Berarti ini adalah satu setengah tahun yang lalu. Bulan dimana Indita mendapatkan masalah dengan Yolan. Dia ingat benar itu.
***
Dengan memakai baju seragam sekolahnya Indita pergi juga ke SMA-nya. Jenjang sekolah yang sebenarnya telah ia lalui. Ia ingat benar kejadian seperti ini. Sampai di sekolah ada anak cowok yang menabraknya dari belakang. Setelah ini pasti ada Yolan.
“Dita!” panggil Yolan. Wajah Yolan sumringah sekali. Indita bisa menebak, Yolan pasti akan menceritakan kencannya semalam bersama cowok selingkuhannya itu.
“Dit…,” Yolan memang lebih suka memanggil Dita kepada Indita dari pada hanya memanggil In atau Indita. “Coba tebak, apa yang dikasih sama Rio ke gue?” Rio adalah selingkuhan Yolan.
“Kalung,” jawab Indita merasa tak ingin mendengar cerita ini karena sesungguhnya dia sudah tahu.
“Kok, loe tahu?” Yolan terkejut dengan jawaban Indita yang sangat tepat itu.
“Lan, inget! Elo udah punya Dicka. Dia itu sayang sama elo. Dia itu baik. Dia itu…”
“Dita…” Yolan memotong perkataan Indita, “Gue nggak mau tahu! Sebenernya…”
Cukup. Itu yang Indita katakan saat itu dan dia langsung pergi sehingga dia tak tahu apa yang ingin dikatakan Yolan selanjutnya.
“Sebenernya gue udah pengen minta putus sama Dicka. Tapi setiap gue minta putus, Dicka selalu bilang kalo dia sayang sama gue. Gue jadi gak tega, Dit. Jadi sekarang ini jangan sampe Dicka tahu tentang hubungan gue sama Rio dulu.”
Saat itu, Indita baru tahu yang sebenarnya Yolan rasakan. Ternyata Yolan tak sejahat yang dia pikirkan.
***
Walaupun bel istirahat sudah berbunyi sejak lima menit yang lalu, Indita masih sibuk mencatat tulisan yang ada di papan tulis.
Yolan sebentar lagi datang. Indita mencoba mengingat kejadian yang sebenarnya pernah terjadi. Yah, dan tentu saja itu benar, Yolan datang ke kelas Indita karena mereka sebenarnya berbeda kelas. Indita adalah murid kelas XI Sains 3 sedangkan Yolan anak murid kelas XI Sosial 1. Tapi karena mereka satu kelas saat kelas X, hal itu telah membuat mereka menjadi dekat.
Namun di belakang Yolan ada Dicka yang entah datang dari arah mana. Raut wajah Dicka seperti menyimpan kemarahan. Terbukti saat Yolan akan memasuki ruang kelas Indita, Dicka mencengkram lengan kanan Yolan dengan kuatnya.
“Aaaw!” jerit Yolan kaget sekaligus kesakitan. “Kenapa sih, Dick?” Yolan berusaha melepaskan lengannya dari cenkraman Dicka, namun tak bisa.
Dicka sudah seperti orang kesurupan. Matanya melotot hingga bola matanya hampir keluar. Indita yang melihat dari kejauhan tak pernah sebelumnya melihat Dicka semarah itu. Indita tahu kenapa Dicka bisa sekalap itu, karena semalam Dicka melihat Yolan sedang bersama dengan Rio di depan rumah Yolan. Niatnya Dicka ingin memberi sebuah kejutan pada Yolan, cewek yang selama ini hanya Dicka sayangi. Dicka termasuk cowok popular di sekolah ini, diantara cewek-cewek yang ingin menjadi pacarnya, Dicka lebih memilih Yolan yang ternyata hanya menyakiti perasaannya saja.
Indita tak mendengar dengan jelas apa yang dikatakan Dicka. Hanya kalimat terakhir saja yang bisa didengarnya.
“Kita putus!” itu yang diucapkan Dicka, lalu ia pergi meninggalkan Yolan yang diam terpaku di tempat.
Indita berjalan mendekati Yolan dengan takut-takut.
“Lan,” panggil Indita lirih. Yolan masih diam saja. Indita pun semakin takut. Air matanya tiba-tiba tumpah. Sambil memegangi tangan Yolan, Indita meminta maaf pada Yolan. Entah apa salah Indita. Tapi yang jelas saat itu Indita takut kehilangan Yolan untuk kedua kalinya.
“Maafin gue, Lan,” kata Indita. Namun Yolan masih diam. Indita melakukan hal yang sama seperti yang pernah dilakukannya dulu, dia berlutut di depan Yolan. “Gue sama sekali nggak cerita sama Dicka. Dia tadi cerita ke gue kalo dia pernah lihat elo sama cowok itu, tapi gue belum sempet cerita ke elo.”
“Pembohong! Pengkhianat loe!” teriak Yolan. Yolan langsung pergi meninggalkan Indita. Namun Indita tidak mengejar Yolan karena bel masuk segera berbunyi.
***
Sepulang sekolah Indita tahu apa yang harus dilakukan. Dulu dia memilih untuk mendapat keterangan dari Dicka dan itu ternyata salah. Dicka hanya marah-marah dan menumpahkan semua kekesalannya pada Indita. Makadari itu, sekarang Indita memilih untuk mendapatkan keterangan dari Yolan. Walaupun sebenarnya dia takut. Takut bahwa Yolan hanya akan menganggapnya sebagai pembohong atau pengkhianat lagi. Tapi dia berusaha memberanikan diri.
Indita menunggu Yolan di depan gerbang sekolah. Melihat Indita yang sedang berdiri di depan gerbang, Yolan menghentikan langkahnya. Namun Indita mendekat.
“Gue mau bicara,” kata Indita takut-takut.
“Ikut gue!” Yolan mengajak Indita kembali ke dalam sekolah. Mereka menuju tangga yang menuju kelas Indita yang berada di lantai dua.
“Mau ngomong apa?” tanya Yolan dingin.
“Gue sama sekali nggak cerita ke Dicka,” Indita memulai penjelasannya. “Gue nggak berniat hancurin hubungan loe sama Dicka.”
Entah bagian mana dari ucapan Indita yang salah, tapi itu telah membuat Yolan meneteskan air matanya. Yolan duduk di salah satu anak tangga.
“Bukan elo, Dit, yang pembohong ataupun pengkhianat,” Yolan menggantungkan ucapannya. Mereka terdiam sejenak.
“Tapi gue,” lanjut Yolan.
Indita kaget mendengar ucapan Yolan barusan. “Maksud loe?”
“Gue ini pembohong. Gue udah ngebohongin semua anak sekolah ini,” suara Yolan terdengar bergetar.
Indita semakin tidak mengerti dengan apa yang diucapkan Yolan. “Gue nggak ngerti maksud loe, Lan?”
“Demi keinginan gue buat populer di sekolah ini, gue menerima cinta Dicka. Padahal gue nggak punya perasaan sedikitpun sama Dicka. Dan tentunya gue udah mengkhianati cinta Dicka yang tulus ke gue,” Yolan tak kuasa menahan tangisnya. Dia menutup mukanya dengan kedua telapak tangannya.
Mendengar kenyataan perasaan Yolan yang sesungguhnya, Indita benar-benar tak menyangka bahwa Yolan sebenarnya menyimpan perasaan bersalah pada Dicka. Indita mengambil tempat duduk di samping Yolan. Dia merangkulkan lengannya di pundak Yolan. Tak ada kata yang bisa diucapkan Indita. Namun air matanya telah mewakilkan perasaan simpatinya terhadap kegalauan hati Yolan.
***
Perasaan Indita baik-baik saja, sehingga dia tak segan menelpon Yolan setelah kejadian itu. Tidak seperti yang telah lalu, setelah kejadian itu Indita hanya bisa menangis dan menyalahkan dirinya.
“Oh ya, tadi ada apa loe mau ke kelas gue?” tanya Indita pada Yolan yang berada di ujung telepon.
“Gue cuma mau bilang  kalau minggu depan gue sekeluarga mau pindah ke Berlin. Papa gue dipindah tugasin ke sana,” jawab Yolan. Malam ini nada bicara Yolan sudah biasa, tidak seperti tadi siang yang senggau karena terlalu banyak menangis, “mungkin besok gue udah nggak masuk sekolah lagi.”
“Oh ya?” Indita kaget mendengar jawaban itu.
“Mungkin gue kembali kalau udah lulus kuliah sekalian. Mungkin lima atau eman tahun lagi.”
“Lama banget.”
“Iya, mau bagaimana lagi?”
“Tapi loe harus janji sama gue,” pinta Indita, “orang pertama yang elo hubungin saat elo tiba di Indonesia lagi adalah gue!”
“Siip deh.”
“Gue pasti bakal kangen sama elo.”
“Gue juga. Elo adalah sahabat gue, Dit. Elo juga bisa mendekati Dicka tanpa harus ada gue sebagai penghalang elo.”
“Maksud loe apa nih?”
“Iiih.. Nggak usah bohong deh, elo sebenarnya suka kan sama Dicka? Elo emang temen yang baik, Dit. Elo lebih memilih diam demi gue.”
“Yolan.”
Setelah selesai dengan obrolan bersama Yolan di telepon, Indita pun menutup teleponnya. Indita segera membaringkan tubuhnya di tempat tidur. Dia pun siap tidur nyenyak malam ini. Hatinya merasa lega mendengar apa yang baru saja diucapkan Yolan tadi.
***
Indita menguap. Dirinya malas sekali untuk memulai hari ini. Dia melihat kesekeliling kamarnya. Matanya terhenti pada sebuah kalender. Lagi-lagi sebuah kalender membuatnya terkejut. Rasanya baru kemaren dia melihat kalender yang menunjukkan bulan Agustus 2008, sekarang kalender itu sudah menunjukkan bulan Januari 2010. Apa yang sebenarnya terjadi? Indita sama sekali tak mengerti. Kenapa bisa begini? Dilihatnya kembali kalender itu. Tanggal 11 Januari.
“Dicka,” Indita teringat sesuatu tentang Dicka. Hari ini adalah hari keberangkatan Dicka ke Australia. Dulu dia memang telah melakukan suatu hal sebelum Dicka berangkat ke Australia, yaitu mengejar Dicka sampai ke bandara. Tapi tak ada yang Indita lakukan atau Indita katakan saat itu. Indita hanya diam dan akhinya hanya kata selamat jalan dan hati-hati yang keluar dari bibir Indita.
Dicka berangkat sore ini pukul 17.00. Tak mau kehilangan kesempatan keduanya, Indita pergi ke bandara bahkan satu jam sebelum jadwal kebeangkatan pesawat Dicka. Namun karena jarak antara rumah dan bandara lumayan jauh ditambah jalanan Jakarta yang macet, Indita hampir telat untuk sampai di bandara. Waktu sudah menunjukkan pukul 16.45 saat Indita tiba di sana. Indita tak tahu harus kemana. Namun saat mata Indita bingung kemana harus mencari Dicka, Indita melihat sebuah punggung di kejauhan yang sangat dia kenali siapa pemiliknya.  Orang itu sedang mendorong sebuah troli dengan penuh barang bawaan munuju pintu keberangkatan.
“Dicka!” panggil Indita. Pemilik punggung itu pun menoleh. Dan itu adalah benar Dicka. Dicka bejalan ke arah Indita.
“Ada apa, In?” tanya Dicka. Namun Indita hanya diam.
Indita merasa kali ini dia tidak boleh diam saja. Apa arti kesempatannya jika dia tidak menggunakannya dengan baik.
“Gue…” Indita membuka suara, “gue…”
“Ada apa, In?” ulang Dicka lagi.
“Jangan lama-lama yah perginya!”
Dicka hanya tersenyum mendengar yang diucapkan Indita barusan. Di raihnya tangan Indita. “Gue pasti pulang buat elo.”
“Kenapa buat gue?”
“Jangan tanya gue! Tanya perasaan elo sendiri!” Dicka membuat Indita bingung dengan teka-tekinya.
“Perasaan gue…” Indita takut untuk melanjutkannya, “perasaan gue bilang kalo gue sayang sama elo.”
Lagi-lagi Dicka hanya tersenyum. Dan belum sempat Dicka menanggapi apa yang baru saja di ucapka Indita, sebuah suara dari pengeras suara yang memberitahukan bahwa pesawat dengan tujuan penerbangan Australia akan segera take off 10 menit lagi.
“Gue pasti pulang buat elo. Gue janji. Gue gak akan lama,” Dicka melepaskan genggaman tangannya.
“Selamat jalan ya, Dick. Hati-hati di sana.”
Dicka pergi dengan dengan sebuah senyuman yang sulit untuk Indita artikan. Indita merasa kesempatannya kali ini sia-sia.
***
Sesampainya di rumah, Indita hanya menangisi kesempatannya yang mungkin telah diberikan oleh Tuhan. Dia tidak bisa menggunakan kesempatannya dengan baik. Indita takut bila nanti saat dia terbangun dari tidurnya, dia akan kembali ke waktu yang semula. Waktu yang dia tinggalkan untuk memperbaiki kesalahan-kesalahannya.
Malam sudah larut, namun Indita takut untuk tidur. Dia masih ingin berada di waktu yang sekarang. Tapi akhirnya rasa kantuknya yang sudah tidak  tertahankan telah mengalahkan rasa takut Indita untuk tidur.
***
Indita terbangun saat sinar matahari yang masuk melewati jendela yang tidak di tutup menyinari wajahnya. Dia menyadari bahwa dirinya masih berada di ruang keluarga. Dia langsung melihat ke sebuah kalender yang berada di dekat televisi di ruangan itu.
“Maret,” gumam Indita. Indita sedikit kecewa melihat kenyataan bahwa dia telah kembali ke waktu yang sebenanya. Indita mencoba mengingat kembali, malam itu dia keluar dari kamarnya karena ingin mengambil segelas air putih, mimpi buruk telah membuat dia haus. Lalu dia mengucapkan sesuatu yang memang sedikit tak masuk akal, tapi itu semua terwujud. Dia bisa memperbaiki apa yang ingin dia perbaiki. Setidaknya dia tahu mengapa Yolan menghilang setelah kejadian itu dan ternyata Yolan tidaklah menghilang. Yolan ikut bersama keluarganya pindah ke Berlin. Dan Dicka, walaupun Indita tidak mendapatkan jawaban yang pasti dari Dicka, Indita telah mengatakan apa yang sangat ingin dia katakan. Tapi apakah semua itu nyata? Apakah itu bukan mimpi? Tapi semua itu lebih pantas bila hanya disebut sebagai sebuah mimpi. Buktinya sekarang Indita terbangun dalam keadaan dan posisi seperti sebelum dia tertidur.
“Sayang, kenapa kamu tidur di luar? Jendelanya juga tidak kamu tutup,” kata mama yang baru saja keluar dari dapur.
“Eh,” Indita melihat ke arah jendela yang terbuka, “tapi nggak ada maling kan, Ma?”
Mamanya hanya tersenyum dan berkata, “Kamu nggak kuliah hari ini?”
Kembali Indita menengok ke arah kalender untuk memastikan hari apa sekarang. “Ada sih, Ma, tapi kuliahnya masih entar siang.”
“Ya udah, sekarang mandi sana!” perintah Mama.
***
Selesai mandi, mamanya kembali memanggil Indita.
“Iya, Ma, sebentar,” teriak Indita dari dalam kamar.
“Ada apa, Ma?” tanya Indita ke pada mamanya yang sedang membuat minuman di dapur.
“Ada tamu yang nyariin kamu. Ini, mama udah bikini minum buat tamu kamu,” mama menyodorkan baki dengan segelas sirup di atasnya.
“Siapa, Ma?” Indita merasa tidak ada janji dengan siapa pun. Apa lagi Siska, dia kan tidak punya kendaraan untuk sampai ke rumahnya. Indita membawa minuman itu dengan penuh tanda tanya di hatinya. Siapa sih emangnya?
Tamu itu menunggu di teras rumah. Dia sedang berdiri memunggungi Indita. Walaupun tamunya itu memunggunginya, Indita mengenali siapa pemilik punggung itu.
“Dicka,” panggil Indita pada pemilik punggung itu.
Pemilik punggung itu berbalik.
“Indita.”
Yah, itu memang benar Dicka. Tapi kenapa dia ada di sini? Bukankan dia sedang berada di Australia?
“Gue pulang buat elo, In,” kata Dicka mengejutkan Indita. Kalimat Dicka barusan seperti kalimat yang diucapkan Dicka dalam mimpi.
“Apa?” tanya Indita.
“Loe bilang agar gue jangan pergi lama-lama kan?”
Indita semakin tak jelas dengan ucapan Dicka.
“Gue yakin loe udah bisa menebak jawaban gue saat di bandara. Gue juga nggak ingin pergi jauh dari loe,” Dicka melanjutkan ucapannya.
“Bukannya seharusnya loe ada di Aussie sekarang ini?” tanya Indita yang tak menghiraukan ucapan Dicka barusan.
Dicka tersenyum, “Iya, tapi kemarin gue pulang buat elo.”
“Gue tanyanya serius, Dick.”
Dicka mendekati Indita dan mengambil nampan yang masih dibawa Indita dan meletakkannya di meja yang ada di teras itu. Dicka menggenggam kedua tangan Indita seperti yang dilakukannya dalam mimpi.
“Gue sayang sama elo, In,” kata Dicka, “setahun tanpa Yolan dan berada di deket elo udah mengubah perasaan gue. Dan gue jadi tahu, kalau sebenarnya Yolan nggak sayang sama gue seperti elo sayang sama gue.”
“Dicka…” Indita tak bisa melanjutkan kalimatnya karena Dicka meletakkan jari telunjuknya di depan bibir Indita.
Dicka melanjutkan ucapannya, “Kenapa selama ini elo diam, Dit? Kenapa selama ini elo lebih memilih membantu Yolan buat ngebohongin gue?”
“Gue…” kembali telunjuk Dicka menghalangi Indita untuk menyelesaikan ucapannya.
“Gue tahu, itu semua karena elo sayang sama gue kan? Karena elo nggak mau bikin gue sedih dengan menghancurkan hubungan gue sama Yolan. Elo emang baik, In”
Mata Indita berkaca-kaca. Dia merasa terharu dengan ucapan Dicka barusan. Dia sama sekali tak menyangka kalau Dicka ternyata selama setahun ini juga memiliki perasaan yang sama dengan dirinya.
Melihat Indita yang hampir menangis, Dicka pun memeluk Indita. Indita hanya diam saja saat Dicka memeluk dirinya. Pelupuk mata Indita rasanya sudah penuh sehingga air mata itu pun tumpah membasahi pipinya. Indita merasa nyaman berada di dekapan Dicka. Dia ingin waktu berhenti sejenak agar dia bisa merasakan nyaman yang lebih lama lagi dalam dekapan Dicka. Namun tak lama Dicka melepaskan pelukannya dan meletakkan kedua telapak tangannya di pipi Indita. Dicka mengghapus air mata Indita dengan kedua ibu jarinya.
“Jangan nangis! Gue udah ada di sini,” kata Dicka.
“Gimana dengan dengan study loe di Aussie?” Indita mengalihkan topik pembicaraan.
Dicka melepaskan tangannya dari pipi Indita. “Kuliah gue sedang libur. Jadi gue pulang buat Menuhin janji gue ke elo. Bulan depan baru kembali lagi ke Aussie.”
Indita sedikit lega mendengar keterangan Dicka. Entah mengapa, yang jelas sekarang ini dia masih punya waktu kurang lebih dua minggu bersama Dicka. Hatinya pun senang dan tak dapat tergambarkan dengan kata-kata.
***
Lima tahun kemudian…
Telepon rumah Indita berdering sejak tadi, namun tak ada seorangpun yang segera menjawabnya. Indita baru saja pulang saat telepon rumah kembali berdering. Rumah masih sepi. Mama dan papanya belum pulang dari tempat kerja masing-masing. Indita segera mengangkat gagang telepon rumah yang sejak tadi minta untuk diangkat.
“Halo,” sapa Indita.
“Dita… Gue udah nyampe Indonesian nih,” teriak orang itu dari ujung telepon.
“Yolan?”

The End

Tidak ada komentar:

Posting Komentar